23 Maret 2010

Ayo Kunjungi Blog Baru Saya !!!

Alhamdulillah, meskipun artikel dalam blog ini sudah tidak saya perbarui namun ternyata teman-teman masih saja berkunjung kemari.

Kepada teman-teman semua silakan berkunjung ke blog saya yang terbaru di <a href="http://fadhlihsan.wordpress.com"> www.fadhlihsan.wordpress.com</a>. Insya Allah akan banyak dan beragam artikel menarik seputar permasalahan agama saya posting di situ.

Saya tunggu kunjungan teman-teman di blog saya yang baru, CATATAN FADHL. Jazakumullahu khairan katsiran.

22 Januari 2010

Kaifiyah Menghilangkan Rambut Kemaluan

ISTIHDAD adalah mencukur rambut kemaluan. Perbuatan ini diistilahkan istihdad karena mencukurnya dengan menggunakan hadid yaitu pisau cukur. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi 'Umdatil Ahkam, kitab Ath-Thaharah, bab fil Madzi wa Ghairihi)

Dalam hadits Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari, hadits 'Aisyah dan hadits Anas yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, istihdad ini disebutkan dengan lafadz: ‎حَلْقُ الْعَانَةِ (mencukur 'anah). Pengertian 'anah adalah rambut yang tumbuh di atas kemaluan dan sekitarnya.

Istihdad hukumnya sunnah. Tujuannya adalah untuk kebersihan. Dan istihdad ini juga disyariatkan bagi wanita, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits:
أَمْهِلُوْا حَتَّى تَدْخُلُوا
لَيْلاً – أَيْ عِشَاءً –
لِكَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيْبَةُ
"Pelan-pelanlah, jangan tergesa-gesa (untuk masuk ke rumah kalian) hingga kalian masuk di waktu malam –yakni waktu Isya'– agar para istri yang ditinggalkan sempat menyisir rambutnya yang acak-acakan/kusut dan sempat beristihdad (mencukur rambut kemaluan)." (HR. Al-Bukhari no. 5245 dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma:
إِذَا دَخَلْتَ لَيْلاً فَلاَ
تَدْخُلْ عَلَى أَهْلِكَ
حَتَّى تَسْتَحِدَّ
الْمُغِيْبَةُ وتَمْتَشِطَ
الشَّعِثَةُ
"Apabila engkau telah masuk ke negerimu (sepulang dari bepergian/safar) maka janganlah engkau masuk menemui istrimu hingga ia sempat beristihdad dan menyisir rambutnya yang acak-acakan/kusut." (HR. Al-Bukhari no. 5246)

Yang utama rambut kemaluan tersebut dicukur sampai habis tanpa menyisakannya. Dan dibolehkan mengguntingnya dengan alat gunting, dicabut, atau bisa juga dihilangkan dengan obat perontok rambut, karena yang menjadi tujuan adalah diperolehnya kebersihan. (Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/239, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab 1/342, Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmul Istihdad)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu ketika ditanya tentang boleh tidaknya menggunakan gunting untuk menghilangkan rambut kemaluan, beliau menjawab, "Aku berharap hal itu dibolehkan." Namun ketika ditanya apakah boleh mencabutnya, beliau balik bertanya, "Apakah ada orang yang kuat menanggung sakitnya?"

Abu Bakar ibnul 'Arabi rahimahullahu berkata, "Rambut kemaluan ini merupakan rambut yang lebih utama untuk dihilangkan karena tebal, banyak dan kotoran bisa melekat padanya. Beda halnya dengan rambut ketiak."

Waktu yang disenangi untuk melakukan istihdad adalah sesuai kebutuhan dengan melihat panjang pendeknya rambut yang ada di kemaluan tersebut. Kalau sudah panjang tentunya harus segera dipotong/dicukur. (Al-Minhaj 3/140, Fathul Bari 10/422, Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmul Istihdad)

Pendapat yang masyhur dari jumhur ulama menyatakan yang dicukur adalah rambut yang tumbuh di sekitar zakar laki-laki dan kemaluan wanita. (Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/239)

Adapun rambut yang tumbuh di sekitar dubur, terjadi perselisihan pendapat tentang boleh tidaknya mencukurnya. Ibnul 'Arabi rahimahullahu mengatakan bahwa tidak disyariatkan mencukurnya, demikian pula yang dikatakan Al-Fakihi dalam Syarhul 'Umdah. Namun tidak ada dalil yang menjadi sandaran bagi mereka yang melarang mencukur rambut yang tumbuh di dubur ini. Adapun Abu Syamah berpendapat, "Disunnahkan menghilangkan rambut dari qubul dan dubur. Bahkan menghilangkan rambut dari dubur lebih utama karena dikhawatirkan di rambut tersebut ada sesuatu dari kotoran yang menempel, sehingga tidak dapat dihilangkan oleh orang yang beristinja (cebok) kecuali dengan air dan tidak dapat dihilangkan dengan istijmar (bersuci dari najis dengan menggunakan batu)." Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menguatkan pendapat Abu Syamah ini. (Fathul Bari, 10/422)

Mencukur rambut kemaluan ini tidak boleh bahkan haram dilakukan oleh orang lain, terkecuali orang yang dibolehkan menyentuh dan memandang kemaluannya seperti suami dan istri. (Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab 1/342, Fathul Bari 10/423)

MENCABUT RAMBUT KETIAK

Mencabut rambut ketiak disepakati hukumnya sunnah dan disenangi memulainya dari ketiak yang kanan, dan bisa dilakukan sendiri atau meminta kepada orang lain untuk melakukannya. Afdhal-nya rambut ini dicabut, tentunya bagi yang kuat menanggung rasa sakit. Namun bila terpaksa mencukurnya atau menghilangkannya dengan obatperontok maka tujuannya sudah terpenuhi. Ibnu Abi Hatim dalam bukunya Manaqib Asy-Syafi'i meriwayatkan dari Yunus bin 'Abdil A'la, ia berkata, "Aku masuk menemui Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullahu dan ketika itu ada seseorang yang sedang mencukur rambut ketiaknya. Beliau berkata, 'Aku tahu bahwa yang sunnah adalah mencabutnya, akan tetapi aku tidak kuat menanggung rasa sakitnya'." (Al-Minhaj 3/140, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab 1/341, Fathul Bari 10/423, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib 1/244)

Harb berkata, "Aku katakan kepada Ishaq: 'Mencabut rambut ketiak lebih engkau sukai ataukah menghilangkannya dengan obat perontok?' Ishaq menjawab, 'Mencabutnya, bila memang seseorang mampu'." (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, fashl Hukmu Natful Ibthi)

Sumber: Majalah Asy Syariah Vol.III/No.31/1428 H/2007M, hal. 54-55.

05 Desember 2009

HUKUM AIR MANI DAN CARA MEMBERSIHKANNYA

TANYA: Apakah air mani itu najis? Bila najis, apakah cara mencuci pakaian yang terkena air mani itu sama dengan cara mencuci pakaian yang terkena darah haidh?

JAWAB: Dalam permasalahan najis atau sucinya air mani, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama menyatakan bahwa air mani itu najis, sebagaimana pendapat Al Imam Abu Hanifah dan Al Imam Malik. Sebagian ulama yang lain berpendapat air mani itu suci, sebagaimana pendapat Al Imam Asy Syafi'i dan Al Imam Ahmad.

Dari dua pendapat tersebut, yang rajih -insya Allah- adalah pendapat kedua, yang menyatakan bahwa air mani itu suci. Hal ini didasarkan pada hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang diriwayatkan Al Imam Bukhari dan Muslim dengan lafadz, di antaranya:
"Bahwasanya aku dahulu mengerik (air mani) dari pakaian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian beliau shalat dengan menggunakan pakaian tersebut." (HR. Muslim)

Dalam lafadz lain:
"Dahulu aku mengerik air mani yang telah kering dengan kukuku dari pakaian Rasulullah." (HR. Muslim)

Dari hadits di atas, jelaslah bahwa air mani merupakan sesuatu yang suci karena:
1. Perbuatan Aisyah radhiyallahu 'anha membersihkan air mani yang telah kering tersebut hanya mengerik dengan kukunya. Kalau seandainya air mani adalah sesuatu yang najis, maka tidak cukup mensucikannya hanya dengan mengeriknya.
2. Sikap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menunda pembersihan air mani yang menimpa pakaiannya hingga kering, juga menunjukkan bahwa air mani itu suci. Kalau seandainya najis, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan segera membersihkannya, sebagaimana kebiasaan beliau di dalam menyikapi benda-benda najis, seperti peristiwa tertimpanya pakaian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam oleh air kencing anak kecil. Dalam hadits Ummu Qais binti Mihshan yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim yang artinya: Dia (Ummu Qais binti Mihshan -red) datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan membawa seorang bayi yang belum memakan makanan, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendudukkannya di kamarnya, kemudian bayi tersebut kencing di pakaian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka segera Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta air dan menyiramkannya pada pakaiannya.

Begitu pulu peristiwa seorang Badui yang kencing di masjid, sebagaimana dikisahkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim.

Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan merupakan pendapat kebanyakan para ulama.

Sementara itu, cara membersihkan air mani adalah dengan dua cara:
1. Boleh dicuci dengan air, sebagaimana hadits Aisyah yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dengan lafadz:
"Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencuci air mani, kemudian keluar shalat dengan mengenakan pakaian tersebut, sementara aku melihat adanya bekas cucian tersebut."
2. Dengan mengeriknya (dengan kuku), sebagaimana dalam hadits yang telah lalu jika air mani telah kering. Dan juga boleh dicuci walaupun telah kering.

Sedangkan darah haidh adalah sesuatu yang najis hukumnya dan cara mencucinya pun berbeda (dengan cara mencuci air mani) serta cenderung lebih ekstra. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Asma' binti Abu Bakr yang kurang lebih artinya:
"Telah datang seorang wanita kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: 'Salah satu dari kami telah tertimpa pakaiannya oleh darah haidh, apa yang bisa dia lakukan?' Berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Dikerik (dengan kukunya), kemudian dikucek dengan air kemudian dibasuh/disiram dengan air, kemudian boleh baginya shalat dengan memakai pakaian tersebut'." (Muttafaq 'alaih)

Dari hadits tersebut diketahui bahwa darah haidh adalah darah yang najis, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk mencucinya dengan cara yang ekstra ketat sebelum digunakan pakaian tersebut untuk shalat. Bahkan dalam riwayat hadits Ummu Qais yang diriwayatkan Al Imam Abu Dawud, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk mencucinya dengan air yang telah dicampur dengan daun bidara. Sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaikh Muqbil di dalam kitabnya Al Jaami' As Shahih (1/481) dengan judul 'Bab Tata Cara Mencuci Darah Haidh'.

Dengan ini telah jelaslah perbedaan hukum air mani dengan darah haidh serta cara mencuci keduanya.

Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 04/I/Jumadil Ula 1424 H/Juli 2003, hal. 49-50.

30 November 2009

JILBAB SESUAI SYARIAT

TANYA: Bagaimana jilbab yang sesuai dengan syariat? Mohon penjelasannya, Jazakallahu khairan katsiran.

JAWAB: Jilbab yang sesuai dengan syariat apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Menutupi seluruh badan.

2. Tidak diberi hiasan-hiasan hingga mengundang pria untuk melihatnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Katakanlah (ya Muhammad) kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan mereka, dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak darinya. Hendaklah mereka meletakkan dan menjulurkan kerudung di atas kerah baju mereka (dada-dada mereka)..." (An-Nuur: 31)

3. Tebal tidak tipis.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Akan ada nanti di kalangan akhir umatku para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang..."

Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"...laknatlah mereka karena sesungguhnya mereka itu terlaknat." (HR. Ath Thabrani dalam Al Mu'jamush Shaghir dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab beliatt Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 125)

Kata Ibnu Abdil Baar rahimahullah: "Yang dimaksud Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya (di atas) adalah para wanita yang mengenakan pakaian dari bahan yang tipis yang menerawangkan bentuk badan dan tidak menutupinya maka wanita seperti ini istilahnya saja mereka berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang."

4. Lebar tidak sempit.
Usamah bin Zaid rahimahullah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memakaikan aku pakaian Qibthiyah yang tebal yang dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau maka aku memakaikan pakaian itu kepada istriku. Suatu ketika beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Mengapa engkau tidak memakai pakaian Qibthiyah itu?" Aku menjawab: "Aku berikan kepada istriku." Beliau berkata: "Perintahkan istrimu agar ia memakai kain penutup setelah memakai pakaian tersebut karena aku khawatir pakaian itu akan menggambarkan bentuk tubuhnya." (Diriwayatkan oleh Adl Dliya Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan, kata Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Jilbab, hal. 131)

5. Tidak diberi wangi-wangian.
Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati sekelompok orang agar mereka mencium wanginya maka wanita itu pezina." (HR. An Nasai, Abu Daud dan lainnya, dengan isnad hasan kata Syaikh Al-Albani dalam Jilbab, hal. 137)

6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengatakan:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Jilbab, hal. 14)

7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.
Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam banyak sabdanya memerintahkan kita untuk menyelisihi orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka baik dalam hal ibadah, hari raya/perayaan ataupun pakaian khas mereka.

8. Bukan merupakan pakaian untuk ketenaran,
yakni pakaian yang dikenakan dengan tujuan agar terkenal di kalangan manusia, sama saja apakah pakaian itu mahal/mewah dengan maksud untuk menyombongkan diri di dunia atau pakaian yang jelek yang dikenakan dengan maksud untuk menampakkan kezuhudan dan riya.

Berkata Ibnul Atsir: Pakaian yang dikenakan itu masyhur di kalangan manusia karena warnanya berbeda dengan warna-warna pakaian mereka hingga manusia mengangkat pandangan ke arahnya jadilah orang tadi merasa bangga diri dan sombong. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Siapa yang memakai pakaian untuk ketenaran di dunia maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat kemudian dinyalakan api padanya." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dengan isnad hasan kata Syaikh Al Albani dalam Jilbab, hal. 213)

Demikian kami nukilkan jawaban untuk saudari dari kitab Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah yang ditulis oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 58-59.

HUKUM MELIHAT LAKI-LAKI DARI BALIK KERUD

TANYA: Bolehkan seorang wanita (akhwat) melihat sekumpulan laki-laki dari balik kerudungnya?

JAWAB: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menunundukkan pandangan-pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengabarkan terhadap apa yang mereka perbuat." (An-Nur: 30)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"...maka zinanya mata itu adalah dengan memandang...." (HR. Bukhari 1 1/503 dan Muslim 4/2046)

Ulama sepakat, sebagaimana dinukilkan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim bahwasanya memandang laki-laki dengan syahwat haram hukumnya.

Sebagian ulama membolehkan untuk memandang laki-laki secara mutlak. Mereka berdalil dengan kisah Aisyah radhiyallahu 'anha yang melihat orang-orang Habasyah yang sedang bermain tombak (perang-perangan) di masjid sampai ia bosan dan berlalu.

Imam Nawawi rahimahullah menjawab dalil mereka ini bahwasanya peristiwa itu mungkin terjadi ketika Aisyah belum baligh.

Namun Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah membantahnya dengan ucapan Aisyah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menutupinya dengan selendang beliau menunjukkan peristiwa ini terjadi setelah turunnya perintah hijab. (Dan Aisyah dihijabi oleh beliau menunjukkan bahwa Aisyah telah baligh).

Imam Nawawi rahimahullah memberi kemungkinan yang lain, beliau mengatakan: Dimungkinkan Aisyah hanya memandang kepada permainan tombak mereka bukan memandang wajah-wajah dan tubuh-tubuh mereka. Dan bila pandangan jatuh ke wajah dan tubuh mereka tanpa sengaja bisa segera dipalingkan ke arah lain saat itu juga. (Lihat Fathul Bari 2/445)

Dengan demikian, hendaklah seorang wanita memiliki rasa malu dan jangan membiarkan pandangan matanya jatuh kepada sesuatu yang tidak diperkenankan baginya, termasuk memandang laki-laki yang bukan mahramnya.
Wallahu a'lam bish-shawab.

(Demikian jawaban ini dinukilkan dari kitab Nashihati Lin Nisa karya Ummu Abdillah Al-Wadi'iyyah hafidzahallahg, putri Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 59-60.

27 November 2009

FATWA-FATWA SEPUTAR PERMASALAHAN NIFAS

DALAM kitab Sittina Sua'alan 'an Ahkamil Haidh fish Shalat wash Shaum wal Hajj wal 'Itimar, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan seputar nifas dan lainnya. Berikut sebagian nukilannya:

1. Apakah wajib bagi wanita nifas untuk puasa dan shalat apabila ia suci sebelum berlaku waktu 40 hari?

Beliau rahimahullah menjawab: "Ya wajib baginya shalat dan puasa. Ketika seorang wanita yang nifas telah suci sebelum 40 hari, wajib baginya melakukan ibadah puasa apabila bertepatan dengan Ramadhan sebagaimana wajib baginya shalat lima waktu. Dan boleh bagi suaminya untuk menggaulinya karena ia telah suci. Tidak ada yang mencegahnya dari puasa, dari kewajiban shalat, dan kebolehan jima' (bersetubuh)."

2. Apakah wanita yang nifas harus menunggu selama 40 hari, tidak boleh shalat dan puasa? Atau yang menjadi patokan adalah berhentinya darah yang keluar dari kemaluan si wanita, yang dengan begitu bila darah telah berhenti berarti ia telah suci dan boleh mengerjakan shalat? Berapa lama waktu minimal nifasnya seorang wanita?

Jawab: "Tidak ada penetapan waktu tertentu dalam hal ini. Akan tetapi yang jadi patokan adalah ada tidaknya darah. Kapan darah terlihat keluar dari kemaluan berarti si wanita tidak boleh shalat, puasa dan jima' dengan suaminya. Bila ia telah melihat dirinya telah suci walaupun belum lewat waktu 40 hari, dan walaupun masih 10 hari berlalu, atau 15 hari maka ia harus menunaikan shalat bila telah masuk waktunya, berpuasa dan boleh bagi suaminya untuk jima' dengannya, perkara ini jelas tidak ada masalah di dalamnya.

Yang penting diketahui, bahwasanya nifas itu merupakan perkara yang bisa diraba/dirasa, hukumnya berkaitan dengan ada tidaknya darah. Kapan darah terlihat berarti dihukumi nifas dan kapan si wanita suci (tidak terlihat darah keluar dari kemaluannya) berarti ia telah terlepas dari hukum nifas. Akan tetapi apabila darah itu keluar lebih dari 60 hari berarti si wanita ditimpa istihadhah, maka ia hanya meninggalkan shalat di waktu yang bersesuaian dengan kebiasaan haidnya, kemudian ia mandi dan shalat apabila telah masuk waktunya."

3. Wanita yang sedang haid atau nifas apakah dibolehkan untuk makan dan minum di siang hari Ramadhan?

Jawab: "Ya, keduanya boleh makan dan minum pada siang hari Ramadhan. Akan tetapi lebih baik bila hal itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, tidak dihadapan anak kecil apabila di rumahnya ada anak kecil karena perbuatan makan dan minum di siang hari Ramadhan akan membuat anak keheranan dan menjadi masalah baginya."

4. Apabila wanita hamil melihat darah keluar dari kemaluannya sehari atau dua hari sebelum melahirkan apakah ia harus meninggalkan shalat dan puasa?

Jawab: "Apabila wanita hamil melihat darah keluar dari kemaluannya sehari atau dua hari sebelum melahirkan disertai rasa sakit akan melahirkan, maka ia terhitung nifas yang berarti ia harus meninggalkan shalat dan puasa. Namun bila darah tersebut keluar tanpa disertai rasa sakit berarti teranggap darah fasad (penyakit), dan keluarnya darah seperti ini tidak menggugurkan kewajiban shalat dan puasanya."

5. Apabila wanita nifas telah suci sebelum berlalu waktu 40 hari apakah sah ibadah haji yang dilakukannya? Dan apabila ia belum melihat dirinya suci apa yang harus dia perbuat sementara dia telah berniat haji?

Jawab: Wanita nifas yang telah suci sebelum 40 hari ia harus mandi, shalat dan mengerjakan seluruh apa yang dibolehkan bagi wanita suci dalam pelaksanaan ibadah haji termasuk thawaf, karena tidak ada batasan minimal selesainya nifas.

Adapun bila ia belum suci sementara telah berniat haji maka ibadah haji yang dilakukannya (dalam keadaan nifas) sah juga. Akan tetapi ia tidak boleh thawaf di Baitullah sampai ia suci, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang wanita haid untuk thawaf di Baitullah, sementara nifas sama dengan haid dalam hal ini.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 56-57.

HUKUM MENGGUNAKAN OBAT PENCEGAH HAID

Penggunaan obat untuk mencegah atau mendatangkan haid sering dilakukan kaum ibu. Jenisnya pun bermacam-macam tergantung keinginan. Bagaimana Islam memandang permasalahan ini? Bagaimana pula dengan obat untuk mencegah kehamilan?

Untuk menjelaskan masalah penggunaan obat atau jamu dalam rangka mencegah atau mendatangkan haid, berikut kami nukilkan fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah (ulama besar Arab Saudi) yang tercantum dalam kitabnya Risalah fid Dima'ith Thabi'iyyah lin Nisa' dalam masalah: Penggunaan obat atau jamu yang dapat mencegah datangnya haid atau sebaliknya, dan obat atau jamu yang dapat mencegah kehamilan atau menggugurkannya.

Penggunaan obat/jamu yang dapat mencegah haid dibolehkan dengan dua syarat:
Pertama, apabila tidak dikhawatirkan terjadinya mudharat pada si wanita. Dengan demikian, apabila dikhawatirkan ada mudharat maka penggunaan obat/jamu tersebut tidak dibolehkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian kepada kebinasaan." (Al Baqarah: 195)
"Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Pengasih terhadap kalian." (An Nisa: 29)

Kedua, harus meminta izin suami apabila terkait dengan suami. Misalnya wanita tersebut tengah dalam masa 'iddah, yang berarti selama 'iddah itu wajib bagi suami untuk menafkahinya. Ternyata si wanita menggunakan obat/jamu pencegah haid agar panjang masa berakhirnya 'iddah dan bertambah lama waktunya untuk mendapat nafkah. Hal seperti ini tidak dibolehkan kecuali dengan izin suami. Demikian pula apabila obat/jamu pencegah haid itu dipastikan dapat mencegah kehamilan, maka harus seizin suami dalam pemakaiannya.

Bila ternyata dua syarat di atas terpenuhi maka yang lebih utama adalah tidak menggunakan obat/jamu tersebut, kecuali bila ada kebutuhan mendesak. Karena, membiarkan sesuatu yang bersifat thabi'i (alami) seperti apa adanya, lebih dapat menjaga kesehatan. Pada akhirnya, keselamatanlah yang diperoleh.

Adapun menggunakan obat/jamu untuk mendatangkan haid maka dibolehkan dengan dua syarat juga:
Pertama, hal itu dilakukan bukan sebagai upaya tipu daya untuk melepaskan diri dari kewajiban. Misalnya seorang wanita menggunakannya ketika mendekati bulan Ramadhan agar ia tidak puasa atau gugur darinya kewajiban shalat, dan yang selainnya.

Kedua, harus dengan izin suami, karena haid dapat menghalangi suami untuk menyempurnakan istimta' (bernikmat-nikmat dengan istri). Sementara seorang istri tidak boleh menggunakan sesuatu yang dapat menghalangi suami untuk mendapatkan haknya kecuali bila si suami ridha. Bila wanita yang menggunakan obat tersebut ternyata statusnya ditalak oleh suami dengan talak raj'i (bisa rujuk kembali dan sebelum berakhirnya 'iddah dapat berkumpul lagi tanpa memperbaharui pernikahan), maka hal itu menyebabkan penyegeraan jatuhnya hak suami untuk rujuk (tanpa harus memperbarui pernikahan).

Terkait dengan penggunaan obat/jamu untuk mencegah kehamilan, ada dua masalah:
Pertama, obat/jamu yang mencegah kehamilan dalam tempo yang terus menerus. Hal ini tidak diperbolehkan karena memutus kehamilan seorang wanita berarti meminimalkan keturunan. Dan hal ini menyelisihi maksud dari penetap syariat yang menghendaki untuk memperbanyak umat Islam. Selain itu, seorang wanita yang menggunakan obat semacam ini, tidak bisa merasa aman dari kemungkinan meninggalnya anak-anak yang telah ia miliki, hingga dimungkinkan suatu ketika ia menjadi seorang janda tanpa keturunan.

Kedua, obat itu hanya mencegah kehamilan dalam waktu tertentu, misalnya wanita itu sering hamil karena itu ia ingin mengatur kehamilannya setiap dua tahun atau yang semisalnya. Maka ini dibolehkan dengan syarat mendapat izin suami dan tidak mengakibatkan mudharat. Dalilnya adalah perbuatan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang melakukan 'azal di masa beliau shallallahu 'alaihi wasallam dengan tujuan agar istri mereka tidak hamil. Yang dimaksud 'azal adalah ketika seorang suami jima' dengan istrinya, ia menarik zakarnya dari kemaluan (farji) istrinya saat inzal (keluar sperma) hingga sperma tersebut tidak masuk ke dalam farji namun memancar di luar farji.

Lalu mengenai penggunaan obat/jamu untuk menggugurkan kandungan ada dua keadaan:
Pertama, si wanita menggunakan obat tersebut dengan maksut untuk merusak/membuang janin yang dikandungnya. Perbuatan ini bila dilakukan setelah ditiupkan ruh pada janin, hukumnya haram tanpa diragukan lagi. Karena berarti membunuh jiwa yang diharamkan tanpa hak, sementara membunuh jiwa seperti ini haram menurut Al Qur'an, As Sunnah, dan kesepakatan (ijma') kaum muslimin.

Apabila dilakukan sebelum ditiupkan ruh, ulama berselisih tentang kebolehannya. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Ada pula yang membolehkan selama janin belum menjadi 'alaqah (segumpal darah) yakni selama belum lewat waktu 40 hari. Ada di antara mereka yang berpendapat bolehnya selama belum jelas bentuk janin sebagai bentuk manusia.

Dari pendapat yang ada, yang lebih hati-hati adalah melarang perbuatan tersebut kecuali bila ada kebutuhan mendesak seperti si ibu menderita sakit yang membuatnya tidak bisa menanggung kehamilannya, atau alasan yang semisal. Dalam keadaan seperti ini, boleh menggugurkannya kecuali bila telah berlalu waktu yang memungkinkan janin tersebut telah jelas bentuknya sebagai bentuk manusia, maka menggugurkannya terlarang. Wallahu a'lam.

Kedua, tidak memaksudkan untuk merusak/membuang janin yang dikandung apabila penggunaan obat tersebut mendekati melahirkan (yakni sebagai upaya memudahkan keluarnya janin dari rahim ibunya). Maka hal ini dibolehkan dengan syarat tidak bermudharat bagi si ibu dan juga anaknya, dan tidak butuh operasi/pembedahan.

Bila terpaksa harus dibedah maka ada empat keadaan:
a). Ibu dan anak yang dikandung dalam keadaan hidup maka tidak boleh dilakukan pembedahan kecuali karena darurat, misalnya si ibu sulit melahirkan maka butuh dibedah untuk mengeluarkan bayinya. Pembedahan ini tidak boleh dilakukan, karena tubuh merupakan amanah di sisi seorang hamba, yang tidak pantas dikenakan sesuatu yang mengkhawatirkan padanya kecuali untuk maslahat yang besar. Di samping itu, pembedahan yang disangka tidak ada mudharatnya, namun terkadang membawa mudharat.
b). Si ibu sudag menjadi mayat demikian pula janin yang dikandung. Maka tidak boleh dilakukan bedah untuk mengeluarkan janin yang telah mati tersebut karena tidak ada faedahnya.
c). Bila si ibu masih hidup sementara janinnya telah mati, maka boleh dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan janin tersebut kecuali bila dikhawatirkan mudharat atas si ibu. Hal ini dibolehkan karena secara dzahir, wallahu a'lam, janin apabila telah mati di dalam perut nyaris tidak bisa dikeluarkan kecuali dengan jalan operasi, sementara bila tetap dibiarkan dalam perut ibunya akan bermudharat bagi si ibu dan mencegahnya dari kehamilan berikutnya.
d). Si ibu sudah meninggal sementara janinnya masih hidup. Maka apabila tipis harapan janin akan tetap hidup setelahnya, tidak boleh dilakukan pembedahan. Namun sebaliknya bila ada harapan hidup sementara sementara sebagian tubuh janin telah keluar maka perut ibunya dibelah untuk mengeluarkan janin tersebut. Apabila belum ada yang keluar dari bagian tubuh janin, maka berkata teman-teman kami -semoga Allah merahmati mereka-:
"Tidak boleh dibelah perut si ibu untuk mengeluarkan janinnya karena perbuatan demikian berarti mencacati mayat."

Namun yang benar, boleh dibelah perut si ibu apabila tidak ada cara lain untuk mengeluarkannya selain dibedah. Pendapat yang terakhir ini dipilih oleh Ibnu Hubairah. Dalam Al Inshaf (karya Al-Mirdawi 2:556), dikatakan, pendapat ini yang lebih utama.

Aku katakan: Terlebih lagi pada zaman kita ini, di mana operasi bedah tidak sampai membuat cacat tubuh karena setelah dibelah perut tersebut dijahit kembali sebagaimana sedia kala. Dan karena kehormatan orang yang hidup, lebih besar daripada kehormatan orang yang mati. Dan karena menyelamatkan orang yang harus dijaga jiwanya dari kebinasaan adalag wajib, sementara janin adalah sosok insan yang harus dipelihara jiwanya, maka wajib menyelamatkannya. Wallahu a'lam."

(Risalah fid Dima', Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah hal. 57-63)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 54-56.

MENEBAR FITNAH, MENUAI PETAKA

'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata:

"Janganlah kalian terburu-buru dalam menyampaikan berita serta tergesa-gesa dalam menebarkan berbagai kekejian. Jangan pula menjadi orang yang tidak bisa menyimpan rahasia dan gemar menyebarkannya.
Karena sungguh, di belakang kalian menanti malapetaka yang teramat dahsyat, kesempitan hidup, kekejian, azab yang pedih, siksaan berat yang melelahkan dan melemahkan, di mana manusia menjadi sangat ketakutan dan dibuat sengsara karenanya, yang diikuti oleh fitnah yang besar, berat, dan berkepanjangan."

(Syarah Shahih Al-Adabul Mufrad, 1/421-422, Rasysyul Barad Syarah Al-Adabul Mufrad hal. 172-173)


Sumber: Majalah Asy Syari'ah, No. 55/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

AISYAH BINTU ABI BAKR, Belahan Jiwa Rasu

DIALAH 'Aisyah bintu Abi Bakr Abdillah bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Amr bin Sa'd bin Taim bin Murrah bin Ka'b bin Lu'ay al Qurasyiyyah At Taimiyyah Al Makkiyyah radhiyallahu 'anhu. Dia seorang wanita yang cantik dan berkulit putih sehingga mendapat sebutan al Humaira'. Ibunya bernama Ummu Ruman bintu Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams bin Attab bin Udzainah al Kinaniyyah. Dia lahir ketika cahaya Islam telah memancar, sekitar delapan tahun sebelum hijrah. Dihabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan sang ayah, kekasih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang sahabat yang mulia, Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu.

Belum tuntas masa kanak-kanaknya ketika datang pinangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan akad pernikahan dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam wahyu berupa mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri beliau.

Dilaluinya hari-hari setelah itu di tengah keluarganya hingga tiba saatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjemputnya -tiga tahun kemudian, seusai beliau kembali dari pertempuran Badr- untuk memasuki rumah tangga yang penuh cahaya nubuwwah di Madinah. Tidak satu pun istri-istri beliau yang dinikahi dalam keadaan masih gadis kecuali Aisyah radhiyallahu 'anha.

Seorang wanita yang mulia, sabar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di tengah kefakiran dan rasa lapar, hingga terkadang hari-hari yang panjang berlalu tanpa nyala api untuk memasak makanan apa pun. Yang ada hanyalah kurma dan air.

Seorang istri yang menyenangkan suaminya yang mulia, menggiring kegembiraan ke dalam hatinya, menghilangkan segala kepayahan dalam menjalani kehidupan dakwah untuk menyeru manusia kepada Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan banyak keutamaan baginya, di antaranya dengan meraih kecintaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kecintaan yang tak tersamarkan, tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan hal itu dari lisannya yang mulia, hingga para sahabat pun berusaha mendapatkan ridha Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hal ini. Siapapun yang ingin memberikan hadiah kepada beliau biasa menangguhkannya hingga tiba saatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berada di tempat Aisyah.

Di sisi lain, ada istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, wanita-wanita mulia yang tak lepas dari tabiat mereka sebagai wanita. Tak urung kecemburuan pun merebak di kalangan mereka sehingga mereka mengutus Ummu Salamah untuk menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam agar mengatakan kepada manusia, siapapun yang ingin memberikan hadiah hendaknya memberikan di mana pun beliau berada saat itu.

Ummu Salamah radhiyallahu 'anha pun mengungkapkan hal itu saat beliau berada di sisinya, namun beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Diulanginya permintaan itu setiap kali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang kepadanya, dan beliau pun tetap tidak memberikan jawaban. Pada kali yang ketiga Ummu Salamah radhiyallahu 'anha mengatakannya, beliau menjawab: "Janganlah engkau menggangguku dalam permasalahan Aisyah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu dalam keadaan diriku di dalam selimut salah seorang pun dari kalian kecuali Aisyah."

Kemuliaan demi kemuliaan diraihnya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dari banyak peristiwa yang dialaminya, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat-ayat-Nya. Suatu ketika, Aisyah turut dalam perjalanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rombongan itu pun singgah di suatu tempat. Tiba-tiba Aisyah radhiyallahu 'anha merasa kalungnya hilang, sementara kalung itu dipinjamnya dari Asma', kakaknya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun memerintahkan para sahabat yang turut dalam rombongan itu untuk mencarinya. Terus berlangsung pencarian itu hingga masuk waktu shalat. Akan tetapi ternyata tak ada air ditempat itu sehingga para sahabat pun shalat tanpa wudhu. Tatkala bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka mengeluhkan hal ini kepada beliau. Saat itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat-Nya tentang tayammum.

Melihat kejadian ini, Usaid bin Hudhair radhiyallahu 'anhu mengatakan kepada Aisyah, "Semoga Allah memberikan balasan kepadamu berupa kebaikan. Demi Allah, tidak pernah sama sekali terjadi sesuatu padamu kecuali Allah jadikan jalan keluar bagimu dari permasalahan itu, dan Allah jadikan barakah di dalamnya bagi seluruh kaum muslimin."

Satu peristiwa penting tercatat dalam kehidupan Aisyah. Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan kesucian dirinya. Berawal dari kepulangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari pertempuran Bani Musthaliq yang Aisyah radhiyallahu 'anha turut dalam rombongan itu. Di tengah perjalanan, ketika rombongan tengah beristirahat, Aisyah radhiyallahu 'anha pergi untuk menunaikan hajatnya. Namun ia kehilangan kalungnya sehingga kembali lagi untuk mencarinya. Berangkatlah rombongan dan Aisyah tertinggal tanpa disadari oleh seorang pun. Aisyah menunggu di tempatnya semula dengan harapan rombongan itu kembali hingga ia tertidur.

Saat itu muncullah Shafwam ibnul Mu'atthal radhiyallahu 'anhu yang tertinggal dari rombongan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Melihat Aisyah, dia pun beristirja'* dan Aisyah terbangun mendengar ucapannya. Tanpa mengatakan sesuatu pun dia persilakan Aisyah radhiyallahu 'anha untuk naik kendaraannya dan dituntunnya hingga bertemu rombongan.

Kaum munafikin yang ditokohi oleh Abdullah bin Ubay bin Salul menghembuskan berita bohong tentang Aisyah radhiyallahu 'anha. Berita itu terus beredar dan mengguncangkan kaum muslimin, termasuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sedang Aisyah sendiri tidak mendengarnya karena dia langsung jatuh sakit selama sebulan setelah kepulangannya itu. Hanya saja ia merasa heran karena tidak menemukan sentuhan kelembutan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selama sakitnya sebagaimana biasa bila dia sakit.

Akhirnya berita bohong itu pun sampai kepada Aisyah melalui Ummu Misthah radhiyallahu 'anha. Aisyah pun menangis sejadi-jadinya dan meminta ijin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk tinggal sementara waktu dengan orang tuanya. Beliau pun mengizinkan.

Sementara itu, wahyu yang memutuskan perkara itu belum juga turun sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta pendapat Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma dalam urusan ini. Beliau pun menemui Aisyah radhiyallahu 'anha, mengharap kejelasan dari peristiwa ini.

Di puncak kegalauan itu, dari atas langit Allah menurunkan ayat-ayat-Nya yang membebaskan Aisyah radhiyallahu 'anha dari segala tuduhan yang disebarkan oleh orang-orang munafik. Aisyah radhiyallahu 'anha, wanita mulia yang mendapatkan pembebasan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari atas langit.

Dia melukiskan keadaannya pada waktu itu, "Demi Allah, saat itu aku tahu bahwa diriku terbebas dari segala tuduhan itu dan Allah akan membebaskan aku darinya. Namun demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu yang dibaca dalam permasalahanku, dan aku merasa terlalu rendah untuk dibicarakan Allah di dalam ayat yang dibaca. Aku hanya berharap, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan melihat mimpi yang dengannya Allah membebaskan diriku dari tuduhan itu." Ayat-ayat itu terus terbaca oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat di dalam Surat An Nuur ayat 11 beserta sembilan ayat berikutnya.

Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hingga tiba saatnya beliau kembali ke hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Delapan belas tahun usianya, saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat dipangkuannya setelah hari-hari terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat ditempatnya. Beliau pun dikuburkan di kamar Aisyah radhiyallahu 'anha.

Sepeninggal beliau, Aisyah radhiyallahu 'anha menyebarkan ilmu yang dia dapatkan dalam rumah tangga nubuwah. Riwayatnya banyak diambil oleh para sahabat yang lain dan tercatat dalam kitab-kitab. Dia menjadi seorang pengajar bagi seluruh kaum muslimin.

Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan, "Keutamaan Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid** atas seluruh makanan." Bahkan Jibril 'alaihis salam menyampaikan salam padanya melalui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Tiba waktunya Aisyah radhiyallahu 'anhu kembali kepada Rabb-Nya. Wanita mulia ini wafat pada tahun 57 Hijriyah dan dikuburkan di pekuburan Baqi'. Ilmunya, kisah hidupnya, keharuman namanya tak pernah sirna dari goresan tinta para penuntut ilmu. Semoga Allah meridhainya.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber bacaan:
1. Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Al Hafidz Ibnu Al 'Asqalani
2. Syarh Shahih Muslim, Al Imam An Nawawi
3. Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, Al Imam Ibnu Hajar Al 'Asqalani
4. Siyar A'lamin Nubala', Al Imam Adz Dzahabi
5. Shahih As Sirah An Nabawiyah, Asy Syaikh Ibrahim Al 'Aly

Footnote:
* Istirja' adalah ucapan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
** Tsarid adalah makanan dari adonan tepung dicampur kuah daging, terkadang disertakan pula dagingnya.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 50-52.

TUNTUNAN SYARIAT MENYAMBUT KELAHIRAN ANA

LAHIRNYA seorang bayi merupakan awal dari kehidupannya di dunia. Dia mulai merasakan aktifitas hidup di dunia ini. Tentunya tak patut ayah dan ibu yang menginginkan buah hatinya menjadi anak yang shalih membiarkan hari-hari pertamanya berjalan tanpa dihiasi tuntunan syariat yang mulia ini, bahkan dikotori oleh hal-hal yang tidak diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.

Banyak hal dipandang oleh masyarakat sebagai adat untuk menyambut kelahiran seorang bayi. Ada yang memasang lentera di kuburan ari-ari (plasenta) bayi, ada yang memasang gunting atau senjata tajam lain di dekat kepala bayi, ada yang meletakkan rangkaian bawang dan cabai merah di atas kepala bayi, ada pula yang memasang gelang dari benang untuk penangkal bala' bagi si bayi. Bahkan sebagian orang meyakini, kalau hal itu tidak dilakukan, maka keselamatan si jabang bayi pun terancam. Kalau sudah begini, dikhawatirkan kesyirikan akan masuk tanpa terhindarkan.

Sebenarnya apa yang harus dilakukan pada hari-hari pertama setelah kelahiran telah diajarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Melalui perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kita bisa melihat dengan jelas penetapan syariat dalam hal ini. Kita simak, apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terhadap seorang bayi yang baru saja lahir, sebagaimana penuturan istri beliau, Aisyah bintu Abi Bakr Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha:
"Apabila didatangkan bayi yang baru lahir ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau mendoakan barakah kepadanya dan mentahniknya." (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5468 dan Imam Muslim no. 2147)

Tahnik adalah mengunyah kurma sampai lumat hingga bisa ditelan, kemudian menyuapkannya ke mulut bayi. Apabila tidak didapatkan kurma, maka diganti dengan makanan manis lain yang bisa digunakan untuk mentahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab (disenangi) melakukan tahnik pada hari kelahiran anak. Demikian dijelaskan oleh Imam An Nawawi rahimahullah ketika menerangkan tahnik ini.

Gambaran perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini bisa kita lihat dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:
"Aku membawa Abdullah bin Abi Thalhah al Anshari kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada hari kelahirannya, dan waktu itu beliau menggunakan mantelnya sedang mengecat untanya dengan ter. Lalu beliau bertanya: "Apakah engkau membawa kurma?" Aku menjawab: "Ya." Kemudian kuberikan pada beliau beberapa buah kurma, lalu beliau masukkan ke mulut dan mengunyahnya. Kemudian beliau membuka mulut bayi dan meludahkan kurma itu ke mulut bayi. Mulailah bayi itu menggerak-gerakkan lidahnya untuk merasakan kurma tersebut. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kesukaan Anshar adalah kurma." dan beliau memberinya nama Abdullah." (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5470 dan Imam Muslim no. 2144)

Hadits Anas bin Malik di atas juga memberikan penjelasan kepada kita bahwa tahnik dilakukan dengan menggunakan kurma, dan ini yang disenangi. Apabila dilakukan dengan selain kurma, maka tahnik itu pun telah terlaksana, namun kurma lebih utama. Dari sini pula kita memetik faidah bahwa tahnik dilakukan oleh orang yang shalih, baik laki-laki ataupun perempuan. (Syarh Shahih Muslim)

Begitu pula bisa kita simak kisah-kisah tentang pelaksanaan tahnik yang datang dari sahabat-sahabat yang lainnya. Abu Musa Al Asy'ari radhiyallahu 'anhu menceritakan:
Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma. (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5467 dan Imam Muslim no. 2145)

Asma' bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhuma mengisahkan ketika dia mengandung anaknya, Abdullah ibnu Az Zubair di Mekkah:
"Dia mengatakan: Aku keluar (untuk hijrah), sementara telah dekat waktuku melahirkan. Maka aku pergi ke Madinah dan aku singgah di Quba', serta melahirkan di sana. Kemudian aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau meletakkan anakku dipangkuannya. Kemudian beliau meminta kurma, dan mengunyahnya lalu meludahkannya ke dalam mulut anakku. Maka yang pertama kali masuk ke perutnya adalah ludah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau mentahniknya dengan kurma, kemudian mendoakannya dan memintakan barakah baginya. Dan dia adalah bayi pertama yang dilahirkan dalam Islam (dari kalangan Muhajirin)." (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5469 dan Imam Muslim no. 2146)

Kisah Asma' radhiyallahu 'anha ini memberikan faidah kepada kita tentang disenanginya mendoakan bayi yang dilahirkan ketika tahnik. (Syarah Shahih Muslim)

Tak luput dari perhatian kita, semua yang kita simak dari Anas bin Malik, Abu Musa Al Asy'ari serta Asma' bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhum di atas menunjukkan bolehnya memberi nama anak pada hari kelahirannya. Ini pun diperkuat oleh penuturan sahabat yang mulia, Sahl bin Sa'd radhiyallahu 'anhu:
"Didatangkan Al Mundzir putra Abu Usaid ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika dia dilahirkan. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meletakkannya di atas pangkuannya, sedangkan Abu Usaid duduk. Pada waktu itu Rasulullah sedang sibuk sehingga Abu Usaid memerintahkan agar anaknya dibawa kembakli, maka anak itu diangkat dari pangkuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mereka pun mengembalikannya pada Abu Usaid. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai dari kesibukannya, beliau bertanya, "Di mana bayi tadi?" Abu Usaid pun menjawab: "Kami membawanya kembali, ya Rasulullah!" Lalu beliau bertanya, "Siapa namanya?" Jawab Abu Usaid: "Fulan, ya Rasulullah!" Beliau pun bersabda, "Tidak, akan tetapi namanya Al Mundzir." Kemudian pada hari itu beliau memberinya nama Al Mundzir. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 2149)

Inilah tuntunan syariat bagi setiap orang tua yang mengharap kebaikan bagi anaknya. Tak layak semua ini dilewatkan begitu saja, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 47-49.

MENGAPA ALLAH JADIKAN KAUM PRIA SEBAGAI

ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum pria) di atas sebagian yang lain (kaum wanita) dan disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka..." (An Nisa: 34)

Demikian indahnya tuturan kalam Ilahi di atas menetapkan tatanan hidup yang pasti mengantarkan kepada kebahagiaan. Namun manusia yang durjana ingin merubah keindahan tatanan tersebut. Akibatnya musibah datang silih berganti dan malapetaka semakin meluas. Wanita yang seharusnya tunduk di bawah kepemimpinan pria menjadi sebaliknya, ia yang memimpin. Padahal Rasul yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam jauh sebelumnya telah berpesan dalam sabdanya yang agung:
"Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita." (Shahih, HR. Bukhari no. 4425)

Kita tahu setiap rumah tangga butuh seorang pemimpin untuk mengatur keperluan rumah tersebut berikut penghuninya dan ia bertanggung jawab atas seluruh penghuni rumah. Karena begitu besar perannya maka ia harus didengar dan ditaati selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan dengan hikmah-Nya yang agung, Allah Subhanahu wa Ta'ala memilih pria untuk menjadi pemimpin tersebut.

Berkata Al Imam Ath Thabari rahimahullah menafsirkan ayat di atas: "Kaum pria merupakan pemimpin bagi para wanita dalam mendidik dan membimbing mereka untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah dan kepada suami-suami mereka. Karena Allah telah melebihkan kaum pria di atas istri-istri mereka dalam hal pemberian mahar dan infak (belanja) dari harta mereka guna mencukupi kebutuhan keluarga. Hal itu merupakan keutamaan Allah tabaraka wa ta'ala kepada kaum pria hingga pantaslah mereka menjadi pemimpin kaum wanita..."

Kemudian beliau menukilkan tafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma terhadap ayat di atas: "Pria (suami) merupakan pemimpin wanita (istri) agar wanita itu mentaatinya dalam perkara yang Allah perintahkan dan mentaatinya dengan berbuat baik kepada keluarganya dan menjaga hartanya. Bila si istri enggan untuk taat kepada Allah, boleh bagi suami untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak memberi cacat..."

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma juga menyatakan pria lebih utama dari wanita dengan nafkah yang diberikannya dan usahanya. (Lihat Tafsis Ath Thabari, 5/57-58)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di rahimahullah berkata setelah membawakan ayat ini dalam tafsir beliau: "Pria memimpin wanita dengan mengharuskan mereka menunaikan hak-hak Allah Ta'ala seperti menjaga apa yang diwajibkan Allah dan mencegah mereka dari kerusakan. Mereka juga memimpin kaum wanita dengan memberi belanja/nafkah, memberi pakaian dan tempat tinggal." (Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Al Kalamin Mannan hal. 177)

Maka dapatlah dipahami bahwa pria dijadikan pemimpin bagi wanita karena dua perkara:

Pertama, Allah telah melebihkan pria atas wanita dari berbagai sisi di antaranya pria secara khusus diberi wewenang untuk memimpin negara, sementara bila ada wanita yang memimpin negara maka ditujukan kepadanya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita." (Shahih, HR. Bukhari)

Demikian pula dalam masalah kenabian dan kerasulan, khusus diangkat dari kalangan pria sebagaimana firman-Nya:
"Tidaklah Kami mengutus rasul-rasul sebelummu (wahai Muhammad) melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka." (Al Anbiya: 7)

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhususkan kaum pria dalam banyak ibadah seperti jihad, shalat jum'at dan lainnya. Demikian pula Allah anugerahkan kepada mereka akal yang kuat, kesabaran dan keteguhan hati yang tidak dimiliki oleh wanita. (Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Al Kalamin Mannan hal. 177)

Kedua, Allah membebankan kepada pria (suami) untuk menafkahi istrinya.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"...dan disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka..." (An Nisa: 34)

Beliau menyatakan: (Harta yang mereka belanjakan) berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan pada mereka seperti yang tersebut dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Maka pria lebih utama dari wanita dan ia memiliki kelebihan dan keunggulan di atas wanita karena itu ia pantas menjadi pemimpin bagi wanita sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di atas para istri." (Al Baqarah: 228)

Ketika menafsirkan ayat di atas, beliau rahimahullah menyatakan: "Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di atas para istri yaitu dalam keutamaan, dalam penciptaan, tabiat, kedudukan, keharusan mentaati perintahnya (yakni istri harus taat dengan suaminya selama tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala), dalam memberikan infak/belanja... (Tafsir Ibnu Katsir 2/278)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabda-sabdanya juga banyak menyinggung kelebihan pria atau suami dibanding wanita. Di antaranya bisa kita baca berikut ini:

"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya." (HR. Tirmidzi, dan dikatakan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. 926: hasan shahih)

"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri dapat menunaikan hak Tuhannya hingga ia menunaikan hak suaminya seluruhnya. Sampai-sampai seandainya suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara dia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) dia tidak boleh menolaknya." (HR. Ahmad dalam Musnadnya, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' 5295 dan Irwaul Ghalil 1998)

Istri yang menolak ajakan senggama dari suaminya diancam oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan sabda beliau:
"Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi." (Shahih, HR. Bukhari no. 5193 dan Muslin no. 1436)

Dalam riwayat Muslim (no. 1436):
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha padanya."

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ketika ditanya kriteria istri yang baik:
"Istri yang menyenangkan ketika dipandang oleh suaminya, taat kepada suaminya ketika diperintah dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara yang tidak disukai suaminya baik dalam dirinya maupun harta suaminya." (HR. Ahmad. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihul Jami' no. 3398, Al Misykat 3272 dan As Shahihah 1838)

Seorang istri tidak diperkenankan puasa sunnah ketika suaminya berada di rumah kecuali setelah mendapat izin darinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Tidak boleh seorang istri puasa sunnah sementara suaminya ada di rumah kecuali setelah mendapat izin dari suaminya." (Shahih, HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)

Seorang istri diperkenankan keluar rumah untuk shalat di masjid bila telah mendapatkan izin suaminya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menuntunkan:
"Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya." (Shahih, HR. Bukhari no. 5238 dan Muslim no. 442)

Dari beberapa dalil yang telah disebutkan jelaslah bagaimana tingginya kedudukan seorang suami. Semua itu menunjukkan bahwa suamilah yang berhak memimpin keluarganya. Dialah yang pantas sebagai nahkoda bagi sebuah bahtera yang ingin pelayarannya berakhir dengan selamat ke tempat tujuan. Inilah pembagian Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Adil maka tidak pantas seorang hamba yang mentaati-Nya untuk memprotes ketetapan-Nya. Bukankah Dia Yang Maha Tinggi telah berfirman:
"Dan janganlah kalian iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi kaum pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi kaum wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Karena itu mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (An Nisa: 32)

Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 44-46.

23 November 2009

NODA-NODA DOSA

PERBUATAN dosa dan maksiat pasti mendatangkan mudharat (kerugian/kejelekan) meskipun antara satu dosa dengan yang lain berbeda-beda tingkat mudharatnya. Tidaklah ada kejelekan di dunia dan akhirat kecuali pasti disebabkan dosa dan maksiat.

Apa yang menyebabkan diusirnya iblis dari surga dan diputuskan untuk menjadi makhluk yang sengsara selama-lamanya? Apa yang menyebabkan tenggelamnya manusia di masa Nabi Nuh? Apa yang menyebabkan terhempasnya kaum 'Aad oleh angin yang begitu dahsyat? Apa yang menyebabkan kaum Nabi Luth dibalik bersama buminya sehingga yang bawah menjadi di atas dan yang atas menjadi di bawah? Apa yang menyebabkan Fir'aun bersama bala tentaranya tenggelam di tengah lautan? Apa yang menyebabkan Qarun tenggelam ke dalam bumi bersama harta kekayaannya? Apa yang menjadikan sekelompok orang Yahudi diubah bentuknya menjadi babi dan kera? Apa yang menyebabkan semua itu kalau bukan dosa dan maksiat?
Allah berfirman:
"Telah nampak kerusakan di darat dan lautan dengan sebab apa yang dilakukan oleh tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar." (Ar Rum: 41)

Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhuma mengatakan: "Aku adalah yang kesepuluh dari sepuluh orang muhajirin yang berada di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka beliau menghadapkan wajahnya kepada kami kemudian mengatakan: 'Wahai muhajirin ada lima perkara, saya berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk kalian dapati lima perkara itu: Tidaklah muncul kekejian pada sebuah kaum dan mereka menampakkannya kecuali mereka akan diberi cobaan dengan wabah pes dan penyakit-penyakit yang tidak pernah ada pada orang-orang yang hidup mendahului mereka. Tidaklah sebuah kaum mengurangi timbangan dan ukuran kecuali mereka akan dicoba dengan kemarau panjang, krisis bahan makanan dan kedzaliman serta kecurangan penguasa. Tidaklah sebuah kaum menahan dari pembayaran zakat dari harta mereka kecuali mereka akan dihalangi dari setetes air dari langit, kalaulah bukan karena binatang-binatang niscaya tidak akan diberi hujan. Tidaklah sebuah kaum menyelisihi janji kecuali Allah akan kuasakan kepada mereka musuh dari selain mereka sehingga musuh-musuh itu akan mengambil sebagian yang dimiliki oleh kaum itu. Dan tidaklah pimpinan-pimpinan mereka mengamalkan apa yang Allah turunkan dalam kitab-Nya kecuali Allah akan menjadikan pertikaian di antara mereka sendiri." (Shahih, HR. Ibnu Majah no. 4019 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani, lihat Silsilah As Shahihah no. 106-107)

Demikianlah maksiat akan menimbulkan sekian banyak kejelekan sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim:
1. Bahwasanya maksiat akan menghalangi ilmu. Karena sesungguhnya ilmu adalah cahaya yang Allah berikan kepada seorang hamba dan maksiat akan memadamkannya.
2. Maksiat menyebabkan terhambatnya rizqi, sebagaimana takwa itu akan menyebabkan datangnya rizqi maka meninggalkan takwa akan menyebabkan kefakiran.
3. Maksiat akan menyebabkan hati gelisah dalam berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada padanya kenikmatan sama sekali. Ini tidak disadari kecuali oleh pemilik hati yang hidup. Adapun hati yang mati tidak bisa menyadarinya. Bagaikan mayat yang tak dapat merasakan sakit atas luka yang mengenainya.
4. Maksiat menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Lebih-lebih orang-rang yang baik, sampai sebagian pendahulu kita mengatakan: "Sungguh aku bermaksiat kepada Allah dan aku melihat pengaruhnya pada binatang kendaraanku dan istriku."
5. Menyebabkan sulitnya segala urusan, sehingga ia tidak menuju sebuah urusan kecuali ia dapati dalam keadaan buntu.
6. Maksiat menyebabkan terhambatnya ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
7. Maksiat menyebabkan lemah qalbu dan jasmaninya, karena kekuatan jasmani itu berasal dari batin maka tatkala batinnya lemah lahirnyapun lemah.
8. Menghilangkan keberkahan umur.
9. Maksiat menyebabkan kegelapan dalam hati seperti halnya ia merasakan kegelapan malam yang pekat.

(Diambil dari kitab Ad-Da'u wad Dawa'u [Penyakit dan Obatnya] karya Ibnu Qayyim al Jauziyah oleh Ustadz Qomar Suaidi)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 42.