30 November 2009

JILBAB SESUAI SYARIAT

TANYA: Bagaimana jilbab yang sesuai dengan syariat? Mohon penjelasannya, Jazakallahu khairan katsiran.

JAWAB: Jilbab yang sesuai dengan syariat apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Menutupi seluruh badan.

2. Tidak diberi hiasan-hiasan hingga mengundang pria untuk melihatnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Katakanlah (ya Muhammad) kepada wanita-wanita yang beriman: hendaklah mereka menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan mereka, dan jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak darinya. Hendaklah mereka meletakkan dan menjulurkan kerudung di atas kerah baju mereka (dada-dada mereka)..." (An-Nuur: 31)

3. Tebal tidak tipis.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Akan ada nanti di kalangan akhir umatku para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang..."

Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"...laknatlah mereka karena sesungguhnya mereka itu terlaknat." (HR. Ath Thabrani dalam Al Mu'jamush Shaghir dengan sanad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab beliatt Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah, hal. 125)

Kata Ibnu Abdil Baar rahimahullah: "Yang dimaksud Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya (di atas) adalah para wanita yang mengenakan pakaian dari bahan yang tipis yang menerawangkan bentuk badan dan tidak menutupinya maka wanita seperti ini istilahnya saja mereka berpakaian tapi hakikatnya mereka telanjang."

4. Lebar tidak sempit.
Usamah bin Zaid rahimahullah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memakaikan aku pakaian Qibthiyah yang tebal yang dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau maka aku memakaikan pakaian itu kepada istriku. Suatu ketika beliau shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Mengapa engkau tidak memakai pakaian Qibthiyah itu?" Aku menjawab: "Aku berikan kepada istriku." Beliau berkata: "Perintahkan istrimu agar ia memakai kain penutup setelah memakai pakaian tersebut karena aku khawatir pakaian itu akan menggambarkan bentuk tubuhnya." (Diriwayatkan oleh Adl Dliya Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan, kata Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Jilbab, hal. 131)

5. Tidak diberi wangi-wangian.
Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati sekelompok orang agar mereka mencium wanginya maka wanita itu pezina." (HR. An Nasai, Abu Daud dan lainnya, dengan isnad hasan kata Syaikh Al-Albani dalam Jilbab, hal. 137)

6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu mengatakan:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Jilbab, hal. 14)

7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.
Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam banyak sabdanya memerintahkan kita untuk menyelisihi orang-orang kafir dan tidak menyerupai mereka baik dalam hal ibadah, hari raya/perayaan ataupun pakaian khas mereka.

8. Bukan merupakan pakaian untuk ketenaran,
yakni pakaian yang dikenakan dengan tujuan agar terkenal di kalangan manusia, sama saja apakah pakaian itu mahal/mewah dengan maksud untuk menyombongkan diri di dunia atau pakaian yang jelek yang dikenakan dengan maksud untuk menampakkan kezuhudan dan riya.

Berkata Ibnul Atsir: Pakaian yang dikenakan itu masyhur di kalangan manusia karena warnanya berbeda dengan warna-warna pakaian mereka hingga manusia mengangkat pandangan ke arahnya jadilah orang tadi merasa bangga diri dan sombong. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Siapa yang memakai pakaian untuk ketenaran di dunia maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat kemudian dinyalakan api padanya." (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dengan isnad hasan kata Syaikh Al Albani dalam Jilbab, hal. 213)

Demikian kami nukilkan jawaban untuk saudari dari kitab Jilbab Al Mar'ah Al Muslimah yang ditulis oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 58-59.

HUKUM MELIHAT LAKI-LAKI DARI BALIK KERUD

TANYA: Bolehkan seorang wanita (akhwat) melihat sekumpulan laki-laki dari balik kerudungnya?

JAWAB: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menunundukkan pandangan-pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengabarkan terhadap apa yang mereka perbuat." (An-Nur: 30)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"...maka zinanya mata itu adalah dengan memandang...." (HR. Bukhari 1 1/503 dan Muslim 4/2046)

Ulama sepakat, sebagaimana dinukilkan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim bahwasanya memandang laki-laki dengan syahwat haram hukumnya.

Sebagian ulama membolehkan untuk memandang laki-laki secara mutlak. Mereka berdalil dengan kisah Aisyah radhiyallahu 'anha yang melihat orang-orang Habasyah yang sedang bermain tombak (perang-perangan) di masjid sampai ia bosan dan berlalu.

Imam Nawawi rahimahullah menjawab dalil mereka ini bahwasanya peristiwa itu mungkin terjadi ketika Aisyah belum baligh.

Namun Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah membantahnya dengan ucapan Aisyah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menutupinya dengan selendang beliau menunjukkan peristiwa ini terjadi setelah turunnya perintah hijab. (Dan Aisyah dihijabi oleh beliau menunjukkan bahwa Aisyah telah baligh).

Imam Nawawi rahimahullah memberi kemungkinan yang lain, beliau mengatakan: Dimungkinkan Aisyah hanya memandang kepada permainan tombak mereka bukan memandang wajah-wajah dan tubuh-tubuh mereka. Dan bila pandangan jatuh ke wajah dan tubuh mereka tanpa sengaja bisa segera dipalingkan ke arah lain saat itu juga. (Lihat Fathul Bari 2/445)

Dengan demikian, hendaklah seorang wanita memiliki rasa malu dan jangan membiarkan pandangan matanya jatuh kepada sesuatu yang tidak diperkenankan baginya, termasuk memandang laki-laki yang bukan mahramnya.
Wallahu a'lam bish-shawab.

(Demikian jawaban ini dinukilkan dari kitab Nashihati Lin Nisa karya Ummu Abdillah Al-Wadi'iyyah hafidzahallahg, putri Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i rahimahullah)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 59-60.

27 November 2009

FATWA-FATWA SEPUTAR PERMASALAHAN NIFAS

DALAM kitab Sittina Sua'alan 'an Ahkamil Haidh fish Shalat wash Shaum wal Hajj wal 'Itimar, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah menjawab pertanyaan seputar nifas dan lainnya. Berikut sebagian nukilannya:

1. Apakah wajib bagi wanita nifas untuk puasa dan shalat apabila ia suci sebelum berlaku waktu 40 hari?

Beliau rahimahullah menjawab: "Ya wajib baginya shalat dan puasa. Ketika seorang wanita yang nifas telah suci sebelum 40 hari, wajib baginya melakukan ibadah puasa apabila bertepatan dengan Ramadhan sebagaimana wajib baginya shalat lima waktu. Dan boleh bagi suaminya untuk menggaulinya karena ia telah suci. Tidak ada yang mencegahnya dari puasa, dari kewajiban shalat, dan kebolehan jima' (bersetubuh)."

2. Apakah wanita yang nifas harus menunggu selama 40 hari, tidak boleh shalat dan puasa? Atau yang menjadi patokan adalah berhentinya darah yang keluar dari kemaluan si wanita, yang dengan begitu bila darah telah berhenti berarti ia telah suci dan boleh mengerjakan shalat? Berapa lama waktu minimal nifasnya seorang wanita?

Jawab: "Tidak ada penetapan waktu tertentu dalam hal ini. Akan tetapi yang jadi patokan adalah ada tidaknya darah. Kapan darah terlihat keluar dari kemaluan berarti si wanita tidak boleh shalat, puasa dan jima' dengan suaminya. Bila ia telah melihat dirinya telah suci walaupun belum lewat waktu 40 hari, dan walaupun masih 10 hari berlalu, atau 15 hari maka ia harus menunaikan shalat bila telah masuk waktunya, berpuasa dan boleh bagi suaminya untuk jima' dengannya, perkara ini jelas tidak ada masalah di dalamnya.

Yang penting diketahui, bahwasanya nifas itu merupakan perkara yang bisa diraba/dirasa, hukumnya berkaitan dengan ada tidaknya darah. Kapan darah terlihat berarti dihukumi nifas dan kapan si wanita suci (tidak terlihat darah keluar dari kemaluannya) berarti ia telah terlepas dari hukum nifas. Akan tetapi apabila darah itu keluar lebih dari 60 hari berarti si wanita ditimpa istihadhah, maka ia hanya meninggalkan shalat di waktu yang bersesuaian dengan kebiasaan haidnya, kemudian ia mandi dan shalat apabila telah masuk waktunya."

3. Wanita yang sedang haid atau nifas apakah dibolehkan untuk makan dan minum di siang hari Ramadhan?

Jawab: "Ya, keduanya boleh makan dan minum pada siang hari Ramadhan. Akan tetapi lebih baik bila hal itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, tidak dihadapan anak kecil apabila di rumahnya ada anak kecil karena perbuatan makan dan minum di siang hari Ramadhan akan membuat anak keheranan dan menjadi masalah baginya."

4. Apabila wanita hamil melihat darah keluar dari kemaluannya sehari atau dua hari sebelum melahirkan apakah ia harus meninggalkan shalat dan puasa?

Jawab: "Apabila wanita hamil melihat darah keluar dari kemaluannya sehari atau dua hari sebelum melahirkan disertai rasa sakit akan melahirkan, maka ia terhitung nifas yang berarti ia harus meninggalkan shalat dan puasa. Namun bila darah tersebut keluar tanpa disertai rasa sakit berarti teranggap darah fasad (penyakit), dan keluarnya darah seperti ini tidak menggugurkan kewajiban shalat dan puasanya."

5. Apabila wanita nifas telah suci sebelum berlalu waktu 40 hari apakah sah ibadah haji yang dilakukannya? Dan apabila ia belum melihat dirinya suci apa yang harus dia perbuat sementara dia telah berniat haji?

Jawab: Wanita nifas yang telah suci sebelum 40 hari ia harus mandi, shalat dan mengerjakan seluruh apa yang dibolehkan bagi wanita suci dalam pelaksanaan ibadah haji termasuk thawaf, karena tidak ada batasan minimal selesainya nifas.

Adapun bila ia belum suci sementara telah berniat haji maka ibadah haji yang dilakukannya (dalam keadaan nifas) sah juga. Akan tetapi ia tidak boleh thawaf di Baitullah sampai ia suci, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang wanita haid untuk thawaf di Baitullah, sementara nifas sama dengan haid dalam hal ini.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 56-57.

HUKUM MENGGUNAKAN OBAT PENCEGAH HAID

Penggunaan obat untuk mencegah atau mendatangkan haid sering dilakukan kaum ibu. Jenisnya pun bermacam-macam tergantung keinginan. Bagaimana Islam memandang permasalahan ini? Bagaimana pula dengan obat untuk mencegah kehamilan?

Untuk menjelaskan masalah penggunaan obat atau jamu dalam rangka mencegah atau mendatangkan haid, berikut kami nukilkan fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah (ulama besar Arab Saudi) yang tercantum dalam kitabnya Risalah fid Dima'ith Thabi'iyyah lin Nisa' dalam masalah: Penggunaan obat atau jamu yang dapat mencegah datangnya haid atau sebaliknya, dan obat atau jamu yang dapat mencegah kehamilan atau menggugurkannya.

Penggunaan obat/jamu yang dapat mencegah haid dibolehkan dengan dua syarat:
Pertama, apabila tidak dikhawatirkan terjadinya mudharat pada si wanita. Dengan demikian, apabila dikhawatirkan ada mudharat maka penggunaan obat/jamu tersebut tidak dibolehkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian kepada kebinasaan." (Al Baqarah: 195)
"Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Pengasih terhadap kalian." (An Nisa: 29)

Kedua, harus meminta izin suami apabila terkait dengan suami. Misalnya wanita tersebut tengah dalam masa 'iddah, yang berarti selama 'iddah itu wajib bagi suami untuk menafkahinya. Ternyata si wanita menggunakan obat/jamu pencegah haid agar panjang masa berakhirnya 'iddah dan bertambah lama waktunya untuk mendapat nafkah. Hal seperti ini tidak dibolehkan kecuali dengan izin suami. Demikian pula apabila obat/jamu pencegah haid itu dipastikan dapat mencegah kehamilan, maka harus seizin suami dalam pemakaiannya.

Bila ternyata dua syarat di atas terpenuhi maka yang lebih utama adalah tidak menggunakan obat/jamu tersebut, kecuali bila ada kebutuhan mendesak. Karena, membiarkan sesuatu yang bersifat thabi'i (alami) seperti apa adanya, lebih dapat menjaga kesehatan. Pada akhirnya, keselamatanlah yang diperoleh.

Adapun menggunakan obat/jamu untuk mendatangkan haid maka dibolehkan dengan dua syarat juga:
Pertama, hal itu dilakukan bukan sebagai upaya tipu daya untuk melepaskan diri dari kewajiban. Misalnya seorang wanita menggunakannya ketika mendekati bulan Ramadhan agar ia tidak puasa atau gugur darinya kewajiban shalat, dan yang selainnya.

Kedua, harus dengan izin suami, karena haid dapat menghalangi suami untuk menyempurnakan istimta' (bernikmat-nikmat dengan istri). Sementara seorang istri tidak boleh menggunakan sesuatu yang dapat menghalangi suami untuk mendapatkan haknya kecuali bila si suami ridha. Bila wanita yang menggunakan obat tersebut ternyata statusnya ditalak oleh suami dengan talak raj'i (bisa rujuk kembali dan sebelum berakhirnya 'iddah dapat berkumpul lagi tanpa memperbaharui pernikahan), maka hal itu menyebabkan penyegeraan jatuhnya hak suami untuk rujuk (tanpa harus memperbarui pernikahan).

Terkait dengan penggunaan obat/jamu untuk mencegah kehamilan, ada dua masalah:
Pertama, obat/jamu yang mencegah kehamilan dalam tempo yang terus menerus. Hal ini tidak diperbolehkan karena memutus kehamilan seorang wanita berarti meminimalkan keturunan. Dan hal ini menyelisihi maksud dari penetap syariat yang menghendaki untuk memperbanyak umat Islam. Selain itu, seorang wanita yang menggunakan obat semacam ini, tidak bisa merasa aman dari kemungkinan meninggalnya anak-anak yang telah ia miliki, hingga dimungkinkan suatu ketika ia menjadi seorang janda tanpa keturunan.

Kedua, obat itu hanya mencegah kehamilan dalam waktu tertentu, misalnya wanita itu sering hamil karena itu ia ingin mengatur kehamilannya setiap dua tahun atau yang semisalnya. Maka ini dibolehkan dengan syarat mendapat izin suami dan tidak mengakibatkan mudharat. Dalilnya adalah perbuatan para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang melakukan 'azal di masa beliau shallallahu 'alaihi wasallam dengan tujuan agar istri mereka tidak hamil. Yang dimaksud 'azal adalah ketika seorang suami jima' dengan istrinya, ia menarik zakarnya dari kemaluan (farji) istrinya saat inzal (keluar sperma) hingga sperma tersebut tidak masuk ke dalam farji namun memancar di luar farji.

Lalu mengenai penggunaan obat/jamu untuk menggugurkan kandungan ada dua keadaan:
Pertama, si wanita menggunakan obat tersebut dengan maksut untuk merusak/membuang janin yang dikandungnya. Perbuatan ini bila dilakukan setelah ditiupkan ruh pada janin, hukumnya haram tanpa diragukan lagi. Karena berarti membunuh jiwa yang diharamkan tanpa hak, sementara membunuh jiwa seperti ini haram menurut Al Qur'an, As Sunnah, dan kesepakatan (ijma') kaum muslimin.

Apabila dilakukan sebelum ditiupkan ruh, ulama berselisih tentang kebolehannya. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Ada pula yang membolehkan selama janin belum menjadi 'alaqah (segumpal darah) yakni selama belum lewat waktu 40 hari. Ada di antara mereka yang berpendapat bolehnya selama belum jelas bentuk janin sebagai bentuk manusia.

Dari pendapat yang ada, yang lebih hati-hati adalah melarang perbuatan tersebut kecuali bila ada kebutuhan mendesak seperti si ibu menderita sakit yang membuatnya tidak bisa menanggung kehamilannya, atau alasan yang semisal. Dalam keadaan seperti ini, boleh menggugurkannya kecuali bila telah berlalu waktu yang memungkinkan janin tersebut telah jelas bentuknya sebagai bentuk manusia, maka menggugurkannya terlarang. Wallahu a'lam.

Kedua, tidak memaksudkan untuk merusak/membuang janin yang dikandung apabila penggunaan obat tersebut mendekati melahirkan (yakni sebagai upaya memudahkan keluarnya janin dari rahim ibunya). Maka hal ini dibolehkan dengan syarat tidak bermudharat bagi si ibu dan juga anaknya, dan tidak butuh operasi/pembedahan.

Bila terpaksa harus dibedah maka ada empat keadaan:
a). Ibu dan anak yang dikandung dalam keadaan hidup maka tidak boleh dilakukan pembedahan kecuali karena darurat, misalnya si ibu sulit melahirkan maka butuh dibedah untuk mengeluarkan bayinya. Pembedahan ini tidak boleh dilakukan, karena tubuh merupakan amanah di sisi seorang hamba, yang tidak pantas dikenakan sesuatu yang mengkhawatirkan padanya kecuali untuk maslahat yang besar. Di samping itu, pembedahan yang disangka tidak ada mudharatnya, namun terkadang membawa mudharat.
b). Si ibu sudag menjadi mayat demikian pula janin yang dikandung. Maka tidak boleh dilakukan bedah untuk mengeluarkan janin yang telah mati tersebut karena tidak ada faedahnya.
c). Bila si ibu masih hidup sementara janinnya telah mati, maka boleh dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan janin tersebut kecuali bila dikhawatirkan mudharat atas si ibu. Hal ini dibolehkan karena secara dzahir, wallahu a'lam, janin apabila telah mati di dalam perut nyaris tidak bisa dikeluarkan kecuali dengan jalan operasi, sementara bila tetap dibiarkan dalam perut ibunya akan bermudharat bagi si ibu dan mencegahnya dari kehamilan berikutnya.
d). Si ibu sudah meninggal sementara janinnya masih hidup. Maka apabila tipis harapan janin akan tetap hidup setelahnya, tidak boleh dilakukan pembedahan. Namun sebaliknya bila ada harapan hidup sementara sementara sebagian tubuh janin telah keluar maka perut ibunya dibelah untuk mengeluarkan janin tersebut. Apabila belum ada yang keluar dari bagian tubuh janin, maka berkata teman-teman kami -semoga Allah merahmati mereka-:
"Tidak boleh dibelah perut si ibu untuk mengeluarkan janinnya karena perbuatan demikian berarti mencacati mayat."

Namun yang benar, boleh dibelah perut si ibu apabila tidak ada cara lain untuk mengeluarkannya selain dibedah. Pendapat yang terakhir ini dipilih oleh Ibnu Hubairah. Dalam Al Inshaf (karya Al-Mirdawi 2:556), dikatakan, pendapat ini yang lebih utama.

Aku katakan: Terlebih lagi pada zaman kita ini, di mana operasi bedah tidak sampai membuat cacat tubuh karena setelah dibelah perut tersebut dijahit kembali sebagaimana sedia kala. Dan karena kehormatan orang yang hidup, lebih besar daripada kehormatan orang yang mati. Dan karena menyelamatkan orang yang harus dijaga jiwanya dari kebinasaan adalag wajib, sementara janin adalah sosok insan yang harus dipelihara jiwanya, maka wajib menyelamatkannya. Wallahu a'lam."

(Risalah fid Dima', Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah hal. 57-63)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 54-56.

MENEBAR FITNAH, MENUAI PETAKA

'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata:

"Janganlah kalian terburu-buru dalam menyampaikan berita serta tergesa-gesa dalam menebarkan berbagai kekejian. Jangan pula menjadi orang yang tidak bisa menyimpan rahasia dan gemar menyebarkannya.
Karena sungguh, di belakang kalian menanti malapetaka yang teramat dahsyat, kesempitan hidup, kekejian, azab yang pedih, siksaan berat yang melelahkan dan melemahkan, di mana manusia menjadi sangat ketakutan dan dibuat sengsara karenanya, yang diikuti oleh fitnah yang besar, berat, dan berkepanjangan."

(Syarah Shahih Al-Adabul Mufrad, 1/421-422, Rasysyul Barad Syarah Al-Adabul Mufrad hal. 172-173)


Sumber: Majalah Asy Syari'ah, No. 55/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

AISYAH BINTU ABI BAKR, Belahan Jiwa Rasu

DIALAH 'Aisyah bintu Abi Bakr Abdillah bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Amr bin Sa'd bin Taim bin Murrah bin Ka'b bin Lu'ay al Qurasyiyyah At Taimiyyah Al Makkiyyah radhiyallahu 'anhu. Dia seorang wanita yang cantik dan berkulit putih sehingga mendapat sebutan al Humaira'. Ibunya bernama Ummu Ruman bintu Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams bin Attab bin Udzainah al Kinaniyyah. Dia lahir ketika cahaya Islam telah memancar, sekitar delapan tahun sebelum hijrah. Dihabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan sang ayah, kekasih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang sahabat yang mulia, Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu.

Belum tuntas masa kanak-kanaknya ketika datang pinangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan akad pernikahan dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam wahyu berupa mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri beliau.

Dilaluinya hari-hari setelah itu di tengah keluarganya hingga tiba saatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjemputnya -tiga tahun kemudian, seusai beliau kembali dari pertempuran Badr- untuk memasuki rumah tangga yang penuh cahaya nubuwwah di Madinah. Tidak satu pun istri-istri beliau yang dinikahi dalam keadaan masih gadis kecuali Aisyah radhiyallahu 'anha.

Seorang wanita yang mulia, sabar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di tengah kefakiran dan rasa lapar, hingga terkadang hari-hari yang panjang berlalu tanpa nyala api untuk memasak makanan apa pun. Yang ada hanyalah kurma dan air.

Seorang istri yang menyenangkan suaminya yang mulia, menggiring kegembiraan ke dalam hatinya, menghilangkan segala kepayahan dalam menjalani kehidupan dakwah untuk menyeru manusia kepada Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan banyak keutamaan baginya, di antaranya dengan meraih kecintaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kecintaan yang tak tersamarkan, tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan hal itu dari lisannya yang mulia, hingga para sahabat pun berusaha mendapatkan ridha Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hal ini. Siapapun yang ingin memberikan hadiah kepada beliau biasa menangguhkannya hingga tiba saatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berada di tempat Aisyah.

Di sisi lain, ada istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, wanita-wanita mulia yang tak lepas dari tabiat mereka sebagai wanita. Tak urung kecemburuan pun merebak di kalangan mereka sehingga mereka mengutus Ummu Salamah untuk menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam agar mengatakan kepada manusia, siapapun yang ingin memberikan hadiah hendaknya memberikan di mana pun beliau berada saat itu.

Ummu Salamah radhiyallahu 'anha pun mengungkapkan hal itu saat beliau berada di sisinya, namun beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Diulanginya permintaan itu setiap kali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang kepadanya, dan beliau pun tetap tidak memberikan jawaban. Pada kali yang ketiga Ummu Salamah radhiyallahu 'anha mengatakannya, beliau menjawab: "Janganlah engkau menggangguku dalam permasalahan Aisyah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu dalam keadaan diriku di dalam selimut salah seorang pun dari kalian kecuali Aisyah."

Kemuliaan demi kemuliaan diraihnya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dari banyak peristiwa yang dialaminya, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat-ayat-Nya. Suatu ketika, Aisyah turut dalam perjalanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rombongan itu pun singgah di suatu tempat. Tiba-tiba Aisyah radhiyallahu 'anha merasa kalungnya hilang, sementara kalung itu dipinjamnya dari Asma', kakaknya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun memerintahkan para sahabat yang turut dalam rombongan itu untuk mencarinya. Terus berlangsung pencarian itu hingga masuk waktu shalat. Akan tetapi ternyata tak ada air ditempat itu sehingga para sahabat pun shalat tanpa wudhu. Tatkala bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka mengeluhkan hal ini kepada beliau. Saat itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat-Nya tentang tayammum.

Melihat kejadian ini, Usaid bin Hudhair radhiyallahu 'anhu mengatakan kepada Aisyah, "Semoga Allah memberikan balasan kepadamu berupa kebaikan. Demi Allah, tidak pernah sama sekali terjadi sesuatu padamu kecuali Allah jadikan jalan keluar bagimu dari permasalahan itu, dan Allah jadikan barakah di dalamnya bagi seluruh kaum muslimin."

Satu peristiwa penting tercatat dalam kehidupan Aisyah. Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan kesucian dirinya. Berawal dari kepulangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari pertempuran Bani Musthaliq yang Aisyah radhiyallahu 'anha turut dalam rombongan itu. Di tengah perjalanan, ketika rombongan tengah beristirahat, Aisyah radhiyallahu 'anha pergi untuk menunaikan hajatnya. Namun ia kehilangan kalungnya sehingga kembali lagi untuk mencarinya. Berangkatlah rombongan dan Aisyah tertinggal tanpa disadari oleh seorang pun. Aisyah menunggu di tempatnya semula dengan harapan rombongan itu kembali hingga ia tertidur.

Saat itu muncullah Shafwam ibnul Mu'atthal radhiyallahu 'anhu yang tertinggal dari rombongan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Melihat Aisyah, dia pun beristirja'* dan Aisyah terbangun mendengar ucapannya. Tanpa mengatakan sesuatu pun dia persilakan Aisyah radhiyallahu 'anha untuk naik kendaraannya dan dituntunnya hingga bertemu rombongan.

Kaum munafikin yang ditokohi oleh Abdullah bin Ubay bin Salul menghembuskan berita bohong tentang Aisyah radhiyallahu 'anha. Berita itu terus beredar dan mengguncangkan kaum muslimin, termasuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sedang Aisyah sendiri tidak mendengarnya karena dia langsung jatuh sakit selama sebulan setelah kepulangannya itu. Hanya saja ia merasa heran karena tidak menemukan sentuhan kelembutan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selama sakitnya sebagaimana biasa bila dia sakit.

Akhirnya berita bohong itu pun sampai kepada Aisyah melalui Ummu Misthah radhiyallahu 'anha. Aisyah pun menangis sejadi-jadinya dan meminta ijin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk tinggal sementara waktu dengan orang tuanya. Beliau pun mengizinkan.

Sementara itu, wahyu yang memutuskan perkara itu belum juga turun sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta pendapat Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma dalam urusan ini. Beliau pun menemui Aisyah radhiyallahu 'anha, mengharap kejelasan dari peristiwa ini.

Di puncak kegalauan itu, dari atas langit Allah menurunkan ayat-ayat-Nya yang membebaskan Aisyah radhiyallahu 'anha dari segala tuduhan yang disebarkan oleh orang-orang munafik. Aisyah radhiyallahu 'anha, wanita mulia yang mendapatkan pembebasan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari atas langit.

Dia melukiskan keadaannya pada waktu itu, "Demi Allah, saat itu aku tahu bahwa diriku terbebas dari segala tuduhan itu dan Allah akan membebaskan aku darinya. Namun demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu yang dibaca dalam permasalahanku, dan aku merasa terlalu rendah untuk dibicarakan Allah di dalam ayat yang dibaca. Aku hanya berharap, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan melihat mimpi yang dengannya Allah membebaskan diriku dari tuduhan itu." Ayat-ayat itu terus terbaca oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat di dalam Surat An Nuur ayat 11 beserta sembilan ayat berikutnya.

Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hingga tiba saatnya beliau kembali ke hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Delapan belas tahun usianya, saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat dipangkuannya setelah hari-hari terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat ditempatnya. Beliau pun dikuburkan di kamar Aisyah radhiyallahu 'anha.

Sepeninggal beliau, Aisyah radhiyallahu 'anha menyebarkan ilmu yang dia dapatkan dalam rumah tangga nubuwah. Riwayatnya banyak diambil oleh para sahabat yang lain dan tercatat dalam kitab-kitab. Dia menjadi seorang pengajar bagi seluruh kaum muslimin.

Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan, "Keutamaan Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid** atas seluruh makanan." Bahkan Jibril 'alaihis salam menyampaikan salam padanya melalui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Tiba waktunya Aisyah radhiyallahu 'anhu kembali kepada Rabb-Nya. Wanita mulia ini wafat pada tahun 57 Hijriyah dan dikuburkan di pekuburan Baqi'. Ilmunya, kisah hidupnya, keharuman namanya tak pernah sirna dari goresan tinta para penuntut ilmu. Semoga Allah meridhainya.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber bacaan:
1. Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Al Hafidz Ibnu Al 'Asqalani
2. Syarh Shahih Muslim, Al Imam An Nawawi
3. Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, Al Imam Ibnu Hajar Al 'Asqalani
4. Siyar A'lamin Nubala', Al Imam Adz Dzahabi
5. Shahih As Sirah An Nabawiyah, Asy Syaikh Ibrahim Al 'Aly

Footnote:
* Istirja' adalah ucapan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
** Tsarid adalah makanan dari adonan tepung dicampur kuah daging, terkadang disertakan pula dagingnya.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 50-52.

TUNTUNAN SYARIAT MENYAMBUT KELAHIRAN ANA

LAHIRNYA seorang bayi merupakan awal dari kehidupannya di dunia. Dia mulai merasakan aktifitas hidup di dunia ini. Tentunya tak patut ayah dan ibu yang menginginkan buah hatinya menjadi anak yang shalih membiarkan hari-hari pertamanya berjalan tanpa dihiasi tuntunan syariat yang mulia ini, bahkan dikotori oleh hal-hal yang tidak diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.

Banyak hal dipandang oleh masyarakat sebagai adat untuk menyambut kelahiran seorang bayi. Ada yang memasang lentera di kuburan ari-ari (plasenta) bayi, ada yang memasang gunting atau senjata tajam lain di dekat kepala bayi, ada yang meletakkan rangkaian bawang dan cabai merah di atas kepala bayi, ada pula yang memasang gelang dari benang untuk penangkal bala' bagi si bayi. Bahkan sebagian orang meyakini, kalau hal itu tidak dilakukan, maka keselamatan si jabang bayi pun terancam. Kalau sudah begini, dikhawatirkan kesyirikan akan masuk tanpa terhindarkan.

Sebenarnya apa yang harus dilakukan pada hari-hari pertama setelah kelahiran telah diajarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Melalui perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kita bisa melihat dengan jelas penetapan syariat dalam hal ini. Kita simak, apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terhadap seorang bayi yang baru saja lahir, sebagaimana penuturan istri beliau, Aisyah bintu Abi Bakr Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha:
"Apabila didatangkan bayi yang baru lahir ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau mendoakan barakah kepadanya dan mentahniknya." (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5468 dan Imam Muslim no. 2147)

Tahnik adalah mengunyah kurma sampai lumat hingga bisa ditelan, kemudian menyuapkannya ke mulut bayi. Apabila tidak didapatkan kurma, maka diganti dengan makanan manis lain yang bisa digunakan untuk mentahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab (disenangi) melakukan tahnik pada hari kelahiran anak. Demikian dijelaskan oleh Imam An Nawawi rahimahullah ketika menerangkan tahnik ini.

Gambaran perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini bisa kita lihat dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:
"Aku membawa Abdullah bin Abi Thalhah al Anshari kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada hari kelahirannya, dan waktu itu beliau menggunakan mantelnya sedang mengecat untanya dengan ter. Lalu beliau bertanya: "Apakah engkau membawa kurma?" Aku menjawab: "Ya." Kemudian kuberikan pada beliau beberapa buah kurma, lalu beliau masukkan ke mulut dan mengunyahnya. Kemudian beliau membuka mulut bayi dan meludahkan kurma itu ke mulut bayi. Mulailah bayi itu menggerak-gerakkan lidahnya untuk merasakan kurma tersebut. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kesukaan Anshar adalah kurma." dan beliau memberinya nama Abdullah." (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5470 dan Imam Muslim no. 2144)

Hadits Anas bin Malik di atas juga memberikan penjelasan kepada kita bahwa tahnik dilakukan dengan menggunakan kurma, dan ini yang disenangi. Apabila dilakukan dengan selain kurma, maka tahnik itu pun telah terlaksana, namun kurma lebih utama. Dari sini pula kita memetik faidah bahwa tahnik dilakukan oleh orang yang shalih, baik laki-laki ataupun perempuan. (Syarh Shahih Muslim)

Begitu pula bisa kita simak kisah-kisah tentang pelaksanaan tahnik yang datang dari sahabat-sahabat yang lainnya. Abu Musa Al Asy'ari radhiyallahu 'anhu menceritakan:
Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma. (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5467 dan Imam Muslim no. 2145)

Asma' bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhuma mengisahkan ketika dia mengandung anaknya, Abdullah ibnu Az Zubair di Mekkah:
"Dia mengatakan: Aku keluar (untuk hijrah), sementara telah dekat waktuku melahirkan. Maka aku pergi ke Madinah dan aku singgah di Quba', serta melahirkan di sana. Kemudian aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau meletakkan anakku dipangkuannya. Kemudian beliau meminta kurma, dan mengunyahnya lalu meludahkannya ke dalam mulut anakku. Maka yang pertama kali masuk ke perutnya adalah ludah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau mentahniknya dengan kurma, kemudian mendoakannya dan memintakan barakah baginya. Dan dia adalah bayi pertama yang dilahirkan dalam Islam (dari kalangan Muhajirin)." (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5469 dan Imam Muslim no. 2146)

Kisah Asma' radhiyallahu 'anha ini memberikan faidah kepada kita tentang disenanginya mendoakan bayi yang dilahirkan ketika tahnik. (Syarah Shahih Muslim)

Tak luput dari perhatian kita, semua yang kita simak dari Anas bin Malik, Abu Musa Al Asy'ari serta Asma' bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhum di atas menunjukkan bolehnya memberi nama anak pada hari kelahirannya. Ini pun diperkuat oleh penuturan sahabat yang mulia, Sahl bin Sa'd radhiyallahu 'anhu:
"Didatangkan Al Mundzir putra Abu Usaid ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika dia dilahirkan. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meletakkannya di atas pangkuannya, sedangkan Abu Usaid duduk. Pada waktu itu Rasulullah sedang sibuk sehingga Abu Usaid memerintahkan agar anaknya dibawa kembakli, maka anak itu diangkat dari pangkuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mereka pun mengembalikannya pada Abu Usaid. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai dari kesibukannya, beliau bertanya, "Di mana bayi tadi?" Abu Usaid pun menjawab: "Kami membawanya kembali, ya Rasulullah!" Lalu beliau bertanya, "Siapa namanya?" Jawab Abu Usaid: "Fulan, ya Rasulullah!" Beliau pun bersabda, "Tidak, akan tetapi namanya Al Mundzir." Kemudian pada hari itu beliau memberinya nama Al Mundzir. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 2149)

Inilah tuntunan syariat bagi setiap orang tua yang mengharap kebaikan bagi anaknya. Tak layak semua ini dilewatkan begitu saja, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 47-49.

MENGAPA ALLAH JADIKAN KAUM PRIA SEBAGAI

ALLAH Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum pria) di atas sebagian yang lain (kaum wanita) dan disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka..." (An Nisa: 34)

Demikian indahnya tuturan kalam Ilahi di atas menetapkan tatanan hidup yang pasti mengantarkan kepada kebahagiaan. Namun manusia yang durjana ingin merubah keindahan tatanan tersebut. Akibatnya musibah datang silih berganti dan malapetaka semakin meluas. Wanita yang seharusnya tunduk di bawah kepemimpinan pria menjadi sebaliknya, ia yang memimpin. Padahal Rasul yang mulia shallallahu 'alaihi wasallam jauh sebelumnya telah berpesan dalam sabdanya yang agung:
"Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita." (Shahih, HR. Bukhari no. 4425)

Kita tahu setiap rumah tangga butuh seorang pemimpin untuk mengatur keperluan rumah tersebut berikut penghuninya dan ia bertanggung jawab atas seluruh penghuni rumah. Karena begitu besar perannya maka ia harus didengar dan ditaati selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan dengan hikmah-Nya yang agung, Allah Subhanahu wa Ta'ala memilih pria untuk menjadi pemimpin tersebut.

Berkata Al Imam Ath Thabari rahimahullah menafsirkan ayat di atas: "Kaum pria merupakan pemimpin bagi para wanita dalam mendidik dan membimbing mereka untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah dan kepada suami-suami mereka. Karena Allah telah melebihkan kaum pria di atas istri-istri mereka dalam hal pemberian mahar dan infak (belanja) dari harta mereka guna mencukupi kebutuhan keluarga. Hal itu merupakan keutamaan Allah tabaraka wa ta'ala kepada kaum pria hingga pantaslah mereka menjadi pemimpin kaum wanita..."

Kemudian beliau menukilkan tafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma terhadap ayat di atas: "Pria (suami) merupakan pemimpin wanita (istri) agar wanita itu mentaatinya dalam perkara yang Allah perintahkan dan mentaatinya dengan berbuat baik kepada keluarganya dan menjaga hartanya. Bila si istri enggan untuk taat kepada Allah, boleh bagi suami untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak memberi cacat..."

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma juga menyatakan pria lebih utama dari wanita dengan nafkah yang diberikannya dan usahanya. (Lihat Tafsis Ath Thabari, 5/57-58)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di rahimahullah berkata setelah membawakan ayat ini dalam tafsir beliau: "Pria memimpin wanita dengan mengharuskan mereka menunaikan hak-hak Allah Ta'ala seperti menjaga apa yang diwajibkan Allah dan mencegah mereka dari kerusakan. Mereka juga memimpin kaum wanita dengan memberi belanja/nafkah, memberi pakaian dan tempat tinggal." (Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Al Kalamin Mannan hal. 177)

Maka dapatlah dipahami bahwa pria dijadikan pemimpin bagi wanita karena dua perkara:

Pertama, Allah telah melebihkan pria atas wanita dari berbagai sisi di antaranya pria secara khusus diberi wewenang untuk memimpin negara, sementara bila ada wanita yang memimpin negara maka ditujukan kepadanya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita." (Shahih, HR. Bukhari)

Demikian pula dalam masalah kenabian dan kerasulan, khusus diangkat dari kalangan pria sebagaimana firman-Nya:
"Tidaklah Kami mengutus rasul-rasul sebelummu (wahai Muhammad) melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka." (Al Anbiya: 7)

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhususkan kaum pria dalam banyak ibadah seperti jihad, shalat jum'at dan lainnya. Demikian pula Allah anugerahkan kepada mereka akal yang kuat, kesabaran dan keteguhan hati yang tidak dimiliki oleh wanita. (Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Al Kalamin Mannan hal. 177)

Kedua, Allah membebankan kepada pria (suami) untuk menafkahi istrinya.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"...dan disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka..." (An Nisa: 34)

Beliau menyatakan: (Harta yang mereka belanjakan) berupa mahar, nafkah dan tanggungan yang Allah wajibkan pada mereka seperti yang tersebut dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Maka pria lebih utama dari wanita dan ia memiliki kelebihan dan keunggulan di atas wanita karena itu ia pantas menjadi pemimpin bagi wanita sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di atas para istri." (Al Baqarah: 228)

Ketika menafsirkan ayat di atas, beliau rahimahullah menyatakan: "Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di atas para istri yaitu dalam keutamaan, dalam penciptaan, tabiat, kedudukan, keharusan mentaati perintahnya (yakni istri harus taat dengan suaminya selama tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala), dalam memberikan infak/belanja... (Tafsir Ibnu Katsir 2/278)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabda-sabdanya juga banyak menyinggung kelebihan pria atau suami dibanding wanita. Di antaranya bisa kita baca berikut ini:

"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya." (HR. Tirmidzi, dan dikatakan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. 926: hasan shahih)

"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri dapat menunaikan hak Tuhannya hingga ia menunaikan hak suaminya seluruhnya. Sampai-sampai seandainya suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara dia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) dia tidak boleh menolaknya." (HR. Ahmad dalam Musnadnya, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' 5295 dan Irwaul Ghalil 1998)

Istri yang menolak ajakan senggama dari suaminya diancam oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan sabda beliau:
"Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi." (Shahih, HR. Bukhari no. 5193 dan Muslin no. 1436)

Dalam riwayat Muslim (no. 1436):
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha padanya."

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ketika ditanya kriteria istri yang baik:
"Istri yang menyenangkan ketika dipandang oleh suaminya, taat kepada suaminya ketika diperintah dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara yang tidak disukai suaminya baik dalam dirinya maupun harta suaminya." (HR. Ahmad. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihul Jami' no. 3398, Al Misykat 3272 dan As Shahihah 1838)

Seorang istri tidak diperkenankan puasa sunnah ketika suaminya berada di rumah kecuali setelah mendapat izin darinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Tidak boleh seorang istri puasa sunnah sementara suaminya ada di rumah kecuali setelah mendapat izin dari suaminya." (Shahih, HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)

Seorang istri diperkenankan keluar rumah untuk shalat di masjid bila telah mendapatkan izin suaminya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menuntunkan:
"Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya." (Shahih, HR. Bukhari no. 5238 dan Muslim no. 442)

Dari beberapa dalil yang telah disebutkan jelaslah bagaimana tingginya kedudukan seorang suami. Semua itu menunjukkan bahwa suamilah yang berhak memimpin keluarganya. Dialah yang pantas sebagai nahkoda bagi sebuah bahtera yang ingin pelayarannya berakhir dengan selamat ke tempat tujuan. Inilah pembagian Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Adil maka tidak pantas seorang hamba yang mentaati-Nya untuk memprotes ketetapan-Nya. Bukankah Dia Yang Maha Tinggi telah berfirman:
"Dan janganlah kalian iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi kaum pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi kaum wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Karena itu mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (An Nisa: 32)

Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 44-46.

23 November 2009

NODA-NODA DOSA

PERBUATAN dosa dan maksiat pasti mendatangkan mudharat (kerugian/kejelekan) meskipun antara satu dosa dengan yang lain berbeda-beda tingkat mudharatnya. Tidaklah ada kejelekan di dunia dan akhirat kecuali pasti disebabkan dosa dan maksiat.

Apa yang menyebabkan diusirnya iblis dari surga dan diputuskan untuk menjadi makhluk yang sengsara selama-lamanya? Apa yang menyebabkan tenggelamnya manusia di masa Nabi Nuh? Apa yang menyebabkan terhempasnya kaum 'Aad oleh angin yang begitu dahsyat? Apa yang menyebabkan kaum Nabi Luth dibalik bersama buminya sehingga yang bawah menjadi di atas dan yang atas menjadi di bawah? Apa yang menyebabkan Fir'aun bersama bala tentaranya tenggelam di tengah lautan? Apa yang menyebabkan Qarun tenggelam ke dalam bumi bersama harta kekayaannya? Apa yang menjadikan sekelompok orang Yahudi diubah bentuknya menjadi babi dan kera? Apa yang menyebabkan semua itu kalau bukan dosa dan maksiat?
Allah berfirman:
"Telah nampak kerusakan di darat dan lautan dengan sebab apa yang dilakukan oleh tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar." (Ar Rum: 41)

Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhuma mengatakan: "Aku adalah yang kesepuluh dari sepuluh orang muhajirin yang berada di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka beliau menghadapkan wajahnya kepada kami kemudian mengatakan: 'Wahai muhajirin ada lima perkara, saya berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk kalian dapati lima perkara itu: Tidaklah muncul kekejian pada sebuah kaum dan mereka menampakkannya kecuali mereka akan diberi cobaan dengan wabah pes dan penyakit-penyakit yang tidak pernah ada pada orang-orang yang hidup mendahului mereka. Tidaklah sebuah kaum mengurangi timbangan dan ukuran kecuali mereka akan dicoba dengan kemarau panjang, krisis bahan makanan dan kedzaliman serta kecurangan penguasa. Tidaklah sebuah kaum menahan dari pembayaran zakat dari harta mereka kecuali mereka akan dihalangi dari setetes air dari langit, kalaulah bukan karena binatang-binatang niscaya tidak akan diberi hujan. Tidaklah sebuah kaum menyelisihi janji kecuali Allah akan kuasakan kepada mereka musuh dari selain mereka sehingga musuh-musuh itu akan mengambil sebagian yang dimiliki oleh kaum itu. Dan tidaklah pimpinan-pimpinan mereka mengamalkan apa yang Allah turunkan dalam kitab-Nya kecuali Allah akan menjadikan pertikaian di antara mereka sendiri." (Shahih, HR. Ibnu Majah no. 4019 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani, lihat Silsilah As Shahihah no. 106-107)

Demikianlah maksiat akan menimbulkan sekian banyak kejelekan sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim:
1. Bahwasanya maksiat akan menghalangi ilmu. Karena sesungguhnya ilmu adalah cahaya yang Allah berikan kepada seorang hamba dan maksiat akan memadamkannya.
2. Maksiat menyebabkan terhambatnya rizqi, sebagaimana takwa itu akan menyebabkan datangnya rizqi maka meninggalkan takwa akan menyebabkan kefakiran.
3. Maksiat akan menyebabkan hati gelisah dalam berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada padanya kenikmatan sama sekali. Ini tidak disadari kecuali oleh pemilik hati yang hidup. Adapun hati yang mati tidak bisa menyadarinya. Bagaikan mayat yang tak dapat merasakan sakit atas luka yang mengenainya.
4. Maksiat menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Lebih-lebih orang-rang yang baik, sampai sebagian pendahulu kita mengatakan: "Sungguh aku bermaksiat kepada Allah dan aku melihat pengaruhnya pada binatang kendaraanku dan istriku."
5. Menyebabkan sulitnya segala urusan, sehingga ia tidak menuju sebuah urusan kecuali ia dapati dalam keadaan buntu.
6. Maksiat menyebabkan terhambatnya ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
7. Maksiat menyebabkan lemah qalbu dan jasmaninya, karena kekuatan jasmani itu berasal dari batin maka tatkala batinnya lemah lahirnyapun lemah.
8. Menghilangkan keberkahan umur.
9. Maksiat menyebabkan kegelapan dalam hati seperti halnya ia merasakan kegelapan malam yang pekat.

(Diambil dari kitab Ad-Da'u wad Dawa'u [Penyakit dan Obatnya] karya Ibnu Qayyim al Jauziyah oleh Ustadz Qomar Suaidi)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 42.

MENJAGA DIRI DARI PERKARA SYUBHAT

RASULULLAH shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara samar (syubhat/tidak jelas halal haramnya) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka siapa yang berhati-hati dari perkara samar (syubhat) ini bearti ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh dalam perkara syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman, seperti seorang penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir ia melanggar daerah larangan tersebut..." (HR. Bukhari no. 52, 2051 dan Muslim 1599 dari shahabat An Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhu)

Ibnu Daqiqil Ied berkata: "Ulama berselisih tentang syubhat yang disebutkan di atas. Kelompok pertama mengatakan syubhat ini haram berdasarkan sabdanya: "berarti ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya". Sehingga siapa yang tidak menjaga agamanya dan kehormatannya maka berarti ia jatuh dalam keharaman.

Kelompok yang kedua mengatakan syubhat ini halal dengan dalil sabda beliau: "seperti seorang penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir ia melanggar daerah larangan tersebut".

Namun meninggalkan perkara syubhat tersebut walaupun halal termasuk sikap wara' (kehati-hatian agar tidak jatuh dalam keharaman).

Kelompok yang ketiga mengatakan: Syubhat yang dinyatakan dalam hadits ini tidak bisa kita katakan halal atau haram karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sendiri menempatkannya antara halal dan haram, maka sepantasnya kita berdiam diri terhadap perkara syubhat tersebut dan hal ini juga merupakan sikap wara'. (Syarhul Arbain/27)

Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Dan siapa yang jatuh dalam perkara syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman...", ditafsirkan dengan dua makna oleh ulama:
Pertama: seseorang melakukan perkara syubhat disertai pengetahuannya hal itu adalah syubhat. Sikap bermudah-mudahnya ini akan membawa dia untuk berani melakukan perkara yang haram.
Kedua: seseorang yang berani dan sering melakukan perkara syubhat dalam keadaan ia tidak tahu apakah perkara itu halal ataukah haram, yang demikian ini akan gelap hatinya karena telah hilang darinya cahaya ilmu dan wara'. Orang seperti ini tidak aman untuk jatuh dalam perkara yang diharamkan. (Jami'ul Ulum, 1/203-204 dan Syarhul Arbain, 29-30)

Dengan demikian orang yang berhati-hati dari syubhat berarti ia telah menyelamatkan agamanya dari kekurangan dan menyelamatkan kehormatannya dari celaan, karena orang yang dikenal suka mendatangi syubhat ia tidak akan selamat dari celaan orang lain. Sehingga yang namanya syubhat sepantasnya kita jauhi, karena bila ternyata perkara itu haram maka kita telah melepaskan diri kita dari melakukan perkara tersebut, namun bila ternyata perkara itu halal maka dengan kehendak Allah kita akan diberi pahala karena kita meninggalkan syubhat dalam rangka wara'. (Fathul Bari 1/159, 4/356, Syarah Al Imam As Sindi terhadap Sunan Ibnu Majah)
Wallahul musta'an.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 34 dan 37)

MAKNA KATA 'SYUBHAT'

SYUBHAT, kata Imam Nawawi rahimahullah adalah sesuatu yang tidak jelas halalnya ataupun haramnya, karena itu kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Adapun ulama mereka mengetahui hukumnya dengan nash atau qiyas atau istishaab* atau dengan selainnya." (Syarah Muslim, 11/27-28)

Berkata Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah: "Syubhat adalah setiap perkara di mana dalil-dalil yang ada dari Al Qur'an dan As Sunnah kelihatannya seperti bertentangan dan maknanya saling tarik menarik, maka menahan diri darinya merupakan sikap wara (kehati-hatian)." (Syarhul Arbain An Nawawiyah/29)

Dengan pengertian di atas dapat kita pahami bahwasanya perkara syubhat itu hanya tersamarkan bagi sebagian orang, adapun bagi sebagian yang lainnya tidak tersamarkan. Dan penilaian syubhat itu sendiri bukan pada dzatnya tapi kembali pada pandangan orang yang menilainya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidaklah meninggalkan sesuatu yang wajib hukumnya melainkan Dia telah menerangkannya dan menegakkan dalil terhadapnya. Hanya mungkin dalil tersebut tersamarkan bagi kebanyakan manusia kecuali orang-orang yang khusus dari kalangan ulama, sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau shallallahu 'alaihi wasallam:
"(ada perkara syubhat) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."

Dari sini dipahami bahwa ada sebagian manusia yang mengetahuinya walaupun jumlahnya sedikit. (Aunul Ma'bud, 9/128, dinukilkan dari Al Khththabi secara makna)

Namun dalam keadaan lain, terkadang seorang ulama (mujtahid) juga mendapatkan kesamaran apabila tidak tampak baginya mana yang kuat dari dua dalil yang ada, apakah sisi halalnya ataukah sisi haramnya. (Fathul Bari, 1/158)

Wallahu a'lam bish-shawab.

Footnote:
*) Istishaab adalah menetapkan sesuatu berdasar keadaan yang berlaku sebelumnya, hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 36.

HAKEKAT IMAN

IMAN menurut Ahlussunnah wal jama'ah adalah keyakinan dengan hati, pengikraran dengan lisan serta pengamalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat.

Jadi iman terdiri dari tiga bagian:
Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah:
"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik." (Az Zumar: 33-34)

Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 2 atau yang lainnya:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatnya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal."

Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya:
"Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan Laa Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah." (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur'an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, doa istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi." (Fathir: 29)

Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku', sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al Haj ayat 77-78, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman ruku'lah kamu, sembahlan Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapatkan kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong."

Kesalahan Memahami Hakekat Iman

Ada beberapa kelompok yang salah dalam memahami makna iman dari hakekatnya yang terdapat dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Mereka adalah:
1. Khawarij dan Mu'tazilah, mereka meyakini bahwa iman adalah ucapan, keyakinan dan amal akan tetapi menurut mereka iman itu satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi atau bercabang-cabang. Tidak bertambah juga tidak berkurang, sehingga jika sebagian iman hilang berarti hilang semua. Karena itu mereka menghukumi bagi yang tidak beramal atau yang berdosa besar adalah kekal di neraka.
2. Murji'ah, mereka terdiri dari tiga kelompok:
a. Iman adalah hanya yang terdapat dalam hati saja. Ini keyakinan kelompok Jahmiyyah. Kelompok yang lainnya mengatakan, iman adalah juga amalan hati.
b. Iman hanya ucapan lisan. Mereka adalah pengikut kelompok Karramiyyah.
c. Iman hanya pembenaran dalam hati dan ucapan lisan. Mereka adalah kelompok Murjiatul Fuqaha'.
(Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu karya Asy Syaikh Abdurrazzaq al Abbad)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 32-33.

22 November 2009

HUKUM BEKAS MAKANAN DAN MINUMAN HEWAN

BERKATA Ibnul Mundzir rahimahullah: "Seluruh yang kami hafal dari ahlul ilmi berpandangan bahwa bekas makanan/minuman hewan yang dimakan dagingnya itu suci. Di antara yang kami hafal berpendapat demikian ini Ats Tsauri, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Ini merupakan pendapat ahlul Madinah dan ashabur ra'yi dari ahlul Kufah." (Al Ausath 1/313) Bahkan dinukilkan dari beliau adanya ijma' (kesepakatan) dalam masalah ini.

Adapun hewan yang tidak dimakan dagingnya diperselisihkan oleh ahlul ilmi, namun kebanyakan dari mereka, di antaranya Imam Syafi'i dan Malik, berpendapat suci bekas makanan/minumam tersebut. Dan pendapat ini yang rajih, dengan alasan bahwasanya secara umum sulit untuk menghindar dari hewan-hewan ini, karena penduduk di pedesaan bejana-bejana mereka terbuka sehingga didatangi oleh hewan-hewan liar ini dan minum darinya. Seandainya kita mengharuskan mereka untuk menumpahkan air tersebut dan mewajibkan mereka untuk mencuci bejana bekas jilatan hewan tersebut niscaya hal itu sulit bagi mereka. (Syarhul Mumti', 1/396). Pendapat ini berpegang dengan hukum asal, karena sesuatu itu dihukumi suci selama tidak berubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, warna, atau rasa). Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 31.

DAGING BABI, SUCI ATAU NAJIS?

ULAMA berselisih tentang najis atau tidaknya daging babi, namun yang rajih (kuat) daging babi ini suci bukan najis. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Daud Adz Dzahiri. (Tahqiq fi Ahaditsil Khilaf, 1/70)

Mereka yang mengatakan daging babi najis berdalil dengan firman Allah dalam surat Al An'am ayat 145:
"Katakanlah: Dari apa yang diwahyukan kepadaku, aku tidak mendapatkan sesuatu yang diharamkan untuk memakannya kecuali bila makanan itu berupa bangkai, atau darag yang mengalir, atau daging babi karena dia merupakan rijs atau merupakan sebab kefasikan dan keluar dari ketaatan atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah..."

Rijs dalam ayat di atas mereka maknakan dengan najis. Tapi yang benar maknanya adalah haram, karena memang demikian yang ditunjukkan dalam konteks ayat ini, di mana ayat ini datang untuk menjelaskan perkara yang diharamkan untuk memakannya bukan perkara yang najis. Dan sesuatu yang haram tidak berarti ia najis, bahkan terkadang didapatkan sesuatu yang haram itu suci seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menyatakan haramnya menikahi ibu dan seterusnya dari ayat ini, sementara seorang ibu tidaklah najis.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Tsa'labah Al Khasyani yang menunjukkan perintah untuk mencuci bekas bejana ahlul kitab dengan alasan mereka menggunakan bejana tersebut untuk memasak babi dan untuk minum khamar. Maka dalil mereka ini dijawab bahwa perintah mencuci bejana di sini bukan karena najisnya tapi untuk menghilangkan sisa makanan dan minuman yang diharamkan untuk mengkonsumsinya. Demikian dijelaskan oleh Imam Syaukani dalam Sailul Jarrar (1/38)
Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 30-31.

PEMBAGIAN JENIS AIR

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang pembagian air, beliau menjawab:

Yang rajih, air itu terbagi dua, thahur (suci dan mensucikan -red) dan najis. Air yang berubah karena masuknya benda najis maka air itu najis. Sedangkan air yang tidak berubah dengan masuknya benda najis maka air itu suci. Adapun menetapkan jenis air yang ketiga, yaitu air yang thahir (suci tapi tidak mensucikan -red) maka tidak ada asalnya dalam syariat. Dalil dalam hal ini adalah karena tidak adanya dalil. Kalau memang ada dalam syariat pembagian air yang thahir, niscaya akan diketahui dan dipahami dengan hadits-hadits yang menjelaskan. Karena perkara ini sangat dibutuhkan penerangannya dan hal ini bukanlah perkara yang remeh, permasalahannya berkaitan dengan pilihan apakah seseorang bisa menggunakan air tersebut untuk bersuci atau tidak, sehingga ia harus tayammum.

(Majmu' Fatawa wa Rasail, Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/85 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al Mar'ah Al Muslimah, 1/187)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 29.

CARA MEMBERSIHKAN NAJIS (2)

(baca yang sebelumnya)

3. Wadiy

Pembersihannya hanya dengan mencuci kemaluan dengan air seperti halnya bersuci dari kencing dan buang air besar.

4. Madzi

Ketika Ali radhiyallahu 'anhu menyuruh seorang shahabat, Miqdad ibnul Aswad, menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang tata caqa membersihkan madzi yang mengenai kemaluan. Beliau menjawab:
"Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu." (HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan bila keluar madzi. Yang dimaksud mencuci disini menurut pendapat Imam Syafi'i dan jumhur ulama adalah mencuci bagian yang terkena madzi saja (dari kemaluan dan anggota badan lainnya yang terkena) tidak perlu mencuci seluruh kemaluan. (Syarah Muslim, 3/213)

Ibnu Hazm berkata: "Mewajibkan pencucian kemaluan secara keseluruhan adalah pensyariatan yang tidak ada dalil padanya." (Al Muhalla, 1/107)

5. Darah Haid yang Mengenai Pakaian

Asma' bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhuma menceritakan:
"Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: 'Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya dia mengeriknya lalu membasuhnya, kemudian ia boleh shalat memakai pakaian tersebut'." (HR. Bukhari no. 227, 307 dan Muslim no. 291)

Imam Shan'ani mengatakan: "Wajib untuk mencuci pakaian yang terkena darah haid dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkan bekasnya berdasarkan apa yang disebutkan dalam hadits dengan dikerik memakai jari, dikucek dengan air dan dicuci untuk menghilangkan bekas darah tersebut. Dan dzahir hadits menunjukkan tidak wajibnya melakukan selain hal tersebut. Kalau masih terlihat bekas darah maka tidak wajib menggosoknya dengan menggunakan benda yang keras/kesat karena tidak disebutkan hal demikian dalam hadits Asma' radhiyallahu 'anha sementara hadits ini merupakan tempat keterangan dan juga karena datang riwayat pada selain hadits ini dengan lafadz: "Tidak bermasalah bagimu bekas darah tersebut (setelah berusaha menghilangkannya dengan tata cara yang disebutkan)". (Subulus Salam, 1/60)

Disenangi mencuci darah haid yang terkena pada pakaian dengan menggunakan air dan daun bidara* serta dikerik dengan ranting karena hal ini bisa menghilangkan bekas darah dari pakaian tersebut daripada sekedar dicuci dengan air saja**. Demikian dikatakan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/141) dengan membawakan hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang darah haid yang mengenai pakaian. Sedangkan hadits Ummu Qais ini dikatakan oleh Ibnul Qaththan: "Sanadnya benar-benar shahih dan saya tidak mengetahui padanya ada cacat." (Talkhis Habir, 1/52)

6. Kulit Bangkai

Bangkai hewan termasuk perkara najis, demikian pula kulitnya. Oleh karena itu bila kulit bangkai itu hendak dimanfaatkan harus disucikan terlebih dahulu dengan cara disamak.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya." (HR. Muslim no. 366)

Yang dimaksuk dengan menyamak adalah menghilangkan bau busuk dan lendir (cairan) yang najis dengan menggunakan benda-benda atau obat-obatan tertentu dan selainnya. Kata Ibrahim An Nakha'i: "Penyamakan adalah segala sesuatu yang mencegah rusaknya kulit." (Tuhfatul Ahwadzi, 5/327)

Berkata Syaikh Abul Qasim sebagaimana dinukil dalam Al Muntaqa Syarah Muwththa Imam Malik: "Kulit bangkai sebelum disamak itu najis namun setelah disamak menjadi suci dengan kesucian yang khusus."

Dengan penyamakan ini kulit tersebut menjadi suci, luar dan dalamnya, sama saja apakah kulit itu berasal dari hewan yang dimakan dagingnya ataupun tidak. Setelah kulit disamak boleh dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan benda-benda yang kering dan yang cair. (Tuhfatul Ahwadzi, 5/327)

7. Air Liur Anjing pada Bejana

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia mencuci bejana tadi sebanyak tujuh kali." (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan: "cucian yang pertama dicampur dengan tanah."

Sementara di sana ada riwayat-riwayat lainnya, karena riwayat ini lebih kuat dari sisi banyaknya, lebih terjaga dari keganjilan dalam periwayatannya dan juga lebih kuat dari sisi makna, demikian kata Al Hafidz Ibnu Hajar. (Fathul Bari, 1/346)

Imam Shan'ani mengatakan: "Riwayat yang menyebutkan pencucian pertama dengan tanah lebih kuat karena banyak yang meriwayatkannya, juga karena dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. Yang demikian ini dipakai ketika mentarjih (menguatkan) riwayat-riwayat yang berselisih." (Subulus Salam, 1/39)

Dan pencucian sebanyak tujuh kali ini hukumnya wajib, demikian pendapat Syafi'i, Ahmad dan jumhur ulama. (Aunul Ma'bud, 1/94)

Pembersihan jilatan anjing ini bisa dengan cara menuangkan air ke atas tanah atau menuangkan tanah di atas air atau bisa pula dengan cara mengambil tanah yang telah bercampur dengan air lalu digunakan untuk mencuci bejana tersebut. Adapun sekedar mengusap bekas najis dengan tanah maka tidaklah mencukupi. (Taisirul 'Allam, 1/35)

Mungkin muncul pertanyaan, apakah tanah bisa digantikan oleh pembersih yang lain seperti sabun/deterjen? Perkara ini diperselisihkan oleh ulama, namun yang kuat adalah tanah tidak bisa digantikan oleh yang lain.

Karena apabika telah datang nash yang menunjukkan terhadap makna tertentu dan dimungkinkan makna yang khusus terhadap makna tertentu tersebut maka tidak boleh mengesampingkan ataupun membuang nash tersebut. Demikian dinyatakan oleh Al Imam Ibnu Daqiqil Ied dalam Ihkamul Ahkam, 1/31.
Wallahu a'lam bish-shawab.

Catatan kaki:
*) Bisa juga memakai sabun dan sejenisnya.
**) Namun kalaupun masih membekas maka tidak bermasalah bekas tersebut dengan keterangan Imam Shan'ani di atas.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 28-31.

CARA MEMBERSIHKAN NAJIS (1)

MEMBERSIHKAN najis
merupakan perkara yang disyariatkan dengan kesepakatan ulama. Namun sangat disayangkan, banyak orang yang tidak mengetahuinya. Padahal perkara ini sangat penting baginya, khususnya berkaitan dengan masalah ibadah yang hendak dia tunaikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti shalatnya ataupun ibadah lainnya.

Membersihkan najis ternyata tidak sulit bila tahu ilmunya. Karenanya kita mesti tahu tata cara membersihkan najis seperti yang dituntunkan syariat. Supaya kita tidak berlebih-lebihan dalam membersihkan najis tersebut dan tidak pula meremehkannya.

Asal pembersihan terhadap perkara najis adalah dengan menggunakan air. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dia menurunkan kepada kalian air dari langit (hujan) agar Dia mensucikan kalian dengannya..." (Al Anfal: 11)
"Dan Kami menurunkan air dari langit sebagai pensuci." ( Al Furqan: 48)

Pembersihan najis dengan air ini dapat berpindah kepada sarana lain, seperti hadits Abu Said Al Khudri yang menyebutkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang pembersihan najis pada sandal dengan digosokkan ke tanah atau hadits tentang istijmar (bersuci dengan menggunakan batu). Oleh karena itu, kita lihat pembersihan beberapa perkara najis yang datang penjelasannya di dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

1. Kencing

Ketika ada seorang A'rabi (Arab gunung) kencing di salah satu sudut masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Para shahabat yang ada di tempat tersebut berteriak mencerca orang tersebut, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang mereka berbuat demikian dan setelahnya beliau bersabda:
"Tuangkan di atas kencingnya itu satu timba penuh berisi air*..." (HR. Bukhari no. 220, 6128 dan Muslim no. 285)

Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menunjukkan bahwa tanag yang terkena najis dapat disucikan dengan menuangkan air di atasnya dan tidak disyaratkan tanah itu harus digali. Ini merupakan pendapat kami dan jumhur ulama." (Syarah Muslim, 3/190-191)

Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan, tanah dapat disucikan dari najis dengan menuangkan air yang banyak tanpa harus memindahkan tanah yang terkena najis ke tempat lain. (Ihkamul Ahkam, 1/83)

Tanah ini bisa disucikan dengan cara tersebut, sama saja apakah tanah itu lembek atau padat, demikian dikatakan Imam Shan'ani. (Subulus Salam, 1/42)

Adapun kalau kencing tersebut mengenai pakaian maka dicuci bagian yang terkena najis sebagaimana mencuci sesuatu yang kotor/najis. Tidak seperti perbuatan orang-orang Yahudi yang menggunting pakaian mereka bila terkena kencing, sebagaimana disebutkan haditsnya dalam Shahih Bukhari (no. 226) dan Shahih Muslim (no. 273).

2. Kotoran (Tahi)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat." (HR. Imam Ahmad, 3/20. Hadits ini shahih kata Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al Jami'ush Shahih 1/526)

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan cara membersihkan alas kaki (sandal ataupun sepatu) yang menginjak kotoran yaitu dibersihkan dengan menggosokkannya ke tanah. Ini menunjukkan tanah itu bisa sebagai pensuci dari najis selain air.

Berkata Imam Syaukani rahimahullah: "Dzahir hadits ini menunjukkan tidak ada perbedaan antara berbagai jenis najis, bahkan setiap yang menempel pada sandal yang dianggap sebagai kotoran maka pensuciannya dengan mengusapkannya ke tanah." (Nailul Authar, 1/76)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga mengajarkan cara bersuci dari buang air kecil (kencing) dan buang air besar (berak) selain dengan air, yaitu dengan menggunakan batu yang diistilahkan dengan istijmar, sebagaimana datang haditsnya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dan siapa yang bersuci dengan menggunakan batu, hendaklah ia mengganjilkannya." (HR. Bukhari no. 162 dan Muslim no. 278)

Hal ini biasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana beliau memerintahkan Abdullah ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu untuk mencari batu (HR. Bukhari no. 156) dan juga perintah beliau kepada Abu Hurairah untuk mengambil batu yang hendak beliau gunakan untuk bersuci (HR. Bukhari no. 155). Kedua riwayat ini mengandung perintah sehingga menunjukkan bahwasanya istijmar bisa dilakukan dalam keadaan apapun walaupun ada air, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan meminta diambilkan air apabila beliau memang ingin bersuci dengan air.

Dikatakan pula oleh Al Hafidz ketika menerangkan bab Istinja' bil Hijarah (bersuci dari buang air besar dan kecil dengan menggunakan batu) bahwa bab ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang berpandangan bahwa istinja' hanya khusus menggunakan air. (Fathul Bari 1/321)

Hitungan ganjil yang dimaksud dalam hadits ini minimal dengan tiga batu sebagaimana dalam hadits Salman radhiyallahu 'anhu, di antaranya ia berkata:
"Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang kami untuk istinja' (cebok) dengan menggunakan kurang dari tiga batu." (HR. Muslim no. 262)
Demikian pula pendapat Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan ashabul hadits, bahkan mereka mensyaratkan tidak boleh kurang dari tiga batu agar najis itu bersih. Apabila belum tercapai pembersihan itu hanya dengan tiga batu, maka dia boleh menambahnya sampai bersih, dan dalam hal ini disenangi untuk mengganjilkan jumlah batu tersebut. (Fathul Bari 1/323)

Dibolehkan pula untuk mengganti ketika tidak ada batu dengan selainnya, kecuali tulang dan kotoran (tahi) kering karena telah datang larangan pemakaian keduanya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ini pendapat jumhur ahlul ilmi. (Syarah Muslim 3/157)

Catatan kaki:
*) Dalam bahasa Arab "sajlan" berarti timba yang lebar, timba besar yang penuh dengan air. (Fathul Bari, 1/404, Ihkamul Ahkam, 1/83)
(baca kelanjutannya)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 27-28.

JUAL BELI DENGAN SISTEM KREDIT

TANYA: Bagaimana hukumnya jual beli barang dengan sistem kredit? Apakah sama dengan riba?

DIJAWAB oleh Al Ustadz Luqman Ba'abduh:
Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis:
Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba.
Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai' At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai' At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya:

-Asy Syaikh Nashirudin Al Albani
Dalam kitab Ash Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma'arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang "Jual Beli dengan Kredit", beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa'i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang transaksi jual beli (dua harga) dalam satu transaksi jual beli.

Asy Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).

Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushannaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza'i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththabi dalam Ma'alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa'i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits.

Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang menjual dengan dua harga dalam satu transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari dua harga tersebut, atau (jika tidak) riba."

Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000, dan kredit dengan harga Rp 120.000. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba.

Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.

-Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Waadi'i
Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa'i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang transaksi jual beli (dua harga) dalam satu transaksi jual beli.

Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang menjual dengan dua harga dalam satu transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari dua harga tersebut, atau (jika tidak) riba."

Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu'allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no. 369.

Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat Asy Syaikh Al Albani:
"Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar dikalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyariatkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari:
"Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli..."

Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah:
"... Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath Thalaq: 2-3)

Demikian nasehat dari Asy Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami nasehatkan kepada kaum muslimin, hendaknya memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini. Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 24-25.

TAUHID, WAHAI PARA DA'I!

DAKWAH merupakan ibadah yang agung. Sayangnya, dakwah telah banyak disalahgunakan untuk membungkus kampanye politik dalam rangka mencari pengikut, merekrut simpatisan dan kader partai, atau sekedar mencari dunia. Di sisi lain, ada da'i yang mengkhususkan pada persoalan-persoalan politik hingga melupakan hal-hal mendasar dalam Islam. Lalu bagaimanakah sesungguhnya dakwah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam itu?

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan dalam risalahnya Tauhid Awwalan Ya Du'atul Islam: "Melihat jeleknya situasi yang menimpa saudara kita se-Islam, maka kita mengatakan situasi yang jelek ini tidak lebih jelek dibanding dengan kejahatan situasi jahiliyah dulu ketika Allah mengutus Rasulullah..."

Berdasarkan hal itu, maka obatnya adalah obat yang disebarkan oleh Rasulullah di masa jahiliah. Maka dari itu, bagi setiap da'i agar tampil mengobati jeleknya pemahaman umat terhadap kalimat Laa ilaha illallah dan mengobati keadaan itu dengan obat tersebut. Yang demikian itu sangat jelas jika kita mencoba untuk merenungi apa yang difirmankan oleh Allah:
"Sungguh telah nampak bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi siapa yang mengharapkan Allah dan hari akhir, dan bagi orang yang mengingat Allah." (Al Ahzab: 21)

Kemudian beliau (Syaikh Albany) mengatakan:
"Maka Rasul kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah suri teladan yang baik dalam mengobati segala problem yang menimpa kaum muslimin di masa kita sekarang ini, bahkan dalam setiap waktu dan keadaan. Yang demikian itu menuntut kita agar seharusnya memulai sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memulai yaitu pertama kali memperbaiki akidah kaum muslimin yang sudah rusak, yang kedua ibadah mereka, dan yang ketiga akhlak. Saya bukan berarti ingin memisahkan antara yang pertama dari yang paling penting menuju yang penting kemudian yang di bawahnya lagi. Akan tetapi yang saya maksudkan adalah agar setiap orang Islam terlebih khusus da'inya untuk memberikan perhatian yang besar (terhadap akidah, red)."

Kenyataan yang menimpa umat secara menyeluruh dan kaum muslimin secara khusus adalah kerusakan hubungan mereka dengan Allah. Bahkan sampai kepada puncak menyekutukan Allah dalam peribadatan dan mengangkat tandingan-tandingan bagi Allah, baik itu dalam wujud manusia atau benda-benda yang tidak bisa bergerak dan berbuat apa-apa.

Penyakit ini telah mendarah daging seperti pohon yang telah menancap akarnya. Bahkan telah menjadi penyakit kanker yang setiap saat merenggut nyawa manusia. Oleh karena itu, sungguh sangat dibutuhkan obat yang tepat dan dokter yang telaten untuk mengawali perombakan akar-akar pohon tersebut dan mengobati penyakit-penyakit kanker tersebut. Ketahuilah, dokter umat ini adalah mereka-mereka yang mengikuti langkah Rasulullah dalam berdakwah yang memulai dari tauhid yang merupakan dasar bangunan Islam ini sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan memberikan obat yang sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu Tauhidullah.

Wahai para da'i, mulailah darimana Allah dan Rasul-Nya memulai dan persiapkan dirimu untuk menghadapi segala kemungkinan gangguan dan cobaan yang dahsyat yang terkadang harus mengalami kegagalan di tengah jalan. Mulailah wahai para da'i dari tauhidullah!
Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 20 & 23.

19 November 2009

TAUHID, POROS DAKWAH PARA RASUL

MENGGALI dakwah seluruh para rasul dan sepak terjang mereka dalam memikul amanat dakwah ini, niscaya akan kita temukan keanehan di atas keanehan yang seandainya kita yang memikulnya, sungguh kita tidak akan sanggup.

Dakwah membutuhkan keikhlasan agar bisa bernilai di sisi Allah dan untuk mengikat diri kita dengan pemilik dakwah itu, yaitu Allah, serta mendapatkan segala apa yang dipersiapkan di negeri akhirat. Dakwah membutuhkan keberanian untuk tidak gentar, takut dan lari ketika menghadapi segala tantangan. Dakwah membutuhkan kesabaran terhadap segala ujian dan tantangan di atasnya. Dakwah membutuhkan istiqamah untuk selalu bersemangat di atas dakwah meskipun kebanyakan orang tidak menerimanya. Dakwah membutuhkan iman yang kuat dan yakin terhadap pertolongan pemilik dakwah ini yaitu Allah. Dakwah membutuhkan tawakal, kelembutan, dan segala bentuk akhlak yang mulia.

Allah telah menjelaskan di dalam Al Qur'an bahwa yang menjadi poros dakwah para rasul adalah seruan untuk mentauhidkan Allah sebagaimana firman Allah:
"Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat itu seorang rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut." (An Nahl: 36)

Dari ayat ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengambil beberapa faidah di dalam kitabnya At Tauhid, di antaranya: Hikmah dari diutusnya seluruh para rasul, bahwa risalah itu mencakup seluruh umat, dan agama para nabi itu satu.

Dari semua faidah ini, sangat jelas bahwa risalah para Rasul adalah satu yaitu risalah tauhid. Tugas dan tujuan mereka adalah satu yaitu mengembalikan hak-hak Allah agar umat ini menyembah hanya kepada-Nya. Atau dengan kata lain, memerdekakan manusia dari penyembahan kepada manusia menuju penyembahan kepada Rabbnya manusia. Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 22-23.

KEDUDUKAN TAUHID DI DALAM AGAMA

TIDAK ada keraguan lagi bahwa tauhid memiliki kedudukan yang tinggi bahkan yang paling tinggi di dalam agama. Tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "Hai Mu'adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah? Ia menjawab: "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui". Beliau mengatakan: "Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun." (HR. Bukhari dan Muslim)

1. Tauhid merupakan dasar dibangunnya segala amalan yang ada di dalam agama ini. Rasulullah bersabda:
"Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa pada bulan Ramadhan." (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar)

2. Tauhid merupakan perintah pertama kali yang kita temukan di dalam Al Qur'an sebagaimana lawannya (yaitu syirik) yang merupakan larangan paling besar dan pertama kali kita temukan di dalam Al Qur'an, sebagaimana firman Allah:
"Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa. Yang telah menjadikan bumi terhampar dan langit sebagai bangunan dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan dengannya buah-buahan sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjandikan tandingan-tandingan bagi Allah." (Al Baqarah: 21-22)

Dalil yang menunjukkan hal tadi dalam ayat ini adalah perintah Allah, "sembahlah Rabb kalian" dan "janganlah kalian menjadikan tandingan bagi Allah".

3. Tauhid merupakan poros dakwah seluruh para Rasul, sejak Rasul yang pertama hingga penutup para Rasul yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Allah berfirman:
"Dan sungguh Kami telah mengutus pada tiap umat seorang Rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut." (An Nahl: 36)

4. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling besar dari semua perintah. Sementara lawannya, yaitu syirik, merupakan larangan paling besar dari semua larangan. Allah berfirman:
"Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian jangan menyembah kecuali kepada-Nya dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua." (Al Isra: 23)
"Dan sembahlah oleh kalian Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun." (An Nisa: 36)

5. Tauhid merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam surga dan terlindungi dari neraka Allah, sebagaimana syirik merupakan sebab utama yang akan menjerumuskan seseorang ke dalam neraka dan diharamkan dari surga Allah. Allah berfirman:
"Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka Allah akan mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka dan tidak ada bagi orang-orang dzalim seorang penolongpun." (Al Maidah: 72)

Rasullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang mati dan dia mengetahui bahwasanya tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, dia akan masuk ke dalam surga." (Shahih, HR. Muslim no. 26 dari Utsman bin Affan)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang kamu jumpai di belakang tembok ini bersaksi terhadap Lailaha illallah dan dalam keadaan yakin hatinya, maka berilah dia kabar gembira dengan surga." (Shahih, HR. Muslim no. 31 dari Abu Hurairah)

6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang dan akan bernilai di hadapan Allah. Allah berfirman:
"Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dan mengikhlaskan bagi-Nya agama." (Al Bayyinah: 5)

Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 21-22.

MEWASPADAI PENYERU KEBINASAAN

JALAN-JALAN kesesatan jumlahnya sangat banyak dan bentuknya pun macam-macam. Demikian banyaknya sampai masyarakat sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Salah satunya adalah ilmu filsafat.

Oleh karenanya, di sini perlu dijelaskan jenis-jenis manusia yang harus diwaspadai ketika kita hendak mengambil ilmu, sebagaimana disebutkan oleh para ulama. Di antara mereka adalah:

1. Ashabur Ra'yi
Yaitu orang-orang yang memahami agama dengan rasio mereka. Termasuk di sini adalah orang-orang yang menafsirkan ayata atau hadits dari akal mereka sendiri tanpa merujuk kepada tafsir ulama. Umar bin Khaththab mengatakan: "Jauhi oleh kalian Ashabur Ra'yi, mereka adalah para musuh Sunnah. Hadits-hadits Nabi tidak mampu mereka hafalkan, akhirnya mereka mengatakan dengan akal sehingga sesat dan menyesatkan." (Al Intishar li Ahlil Hadits no. 21)

2. Al Ashaghir
Yaitu orang-orang kecil. Nabi bersabda:
"Di antara tanda hari kiamat ada tiga, salah satunya adalah dituntutnya ilmu dari Al Ashagir." (Shahih atau hasan, HR. Ibnu Abdil Bar dalam Jami' Bayan Ilm hal. 612 tahqiq Abul Asybal dan dihasankannya, dishahihkan oleh Asy Syaikh Salim Al Hilaly dalam Bashair Dzawis Syaraf: 41)

Abdullah bin Mas'ud mengatakan, jika ilmu datang dari Al Ashaghir maka mereka akan binasa. (Jami' Bayanul Ilm hal. 616) Abdullah bin Al Mubarak ditanya tentang makna Al Ashaghir, katanya yaitu orang yang berpendapat (dalam masalah agama) dengan pendapat mereka sendiri... yakni ahlul bid'ah. (Jami' Bayanul Ilm: 612) Karena memang ahlul bid'ah kecil dalam hal ilmu.

Sebagian ulama yang lain mengatakan yang dimaksud dengannya adalah yang tidak punya ilmu. (Jami' Bayanul Ilm: 617) Yang lain lagi mengatakan: "Bisa jadi yang dimaksud adalah orang yang tidak terhormat, dan hal itu tidak terjadi kecuali karena ia membuang agama dan kehormatannya, adapun yang selalu menjaga keduanya pasti dia akan terhormat." (Al I'tisham: 2/682)

3. Ahlul Bid'ah
Seseorang bisa dikatakan sebagai ahli bid'ah jika ia menyelisihi hal-hal yang telah disepakati oleh Ahlussunnah wal Jama'ah (Al Farqu Bainal Firaq: 14-15). Ibnu Taimiyah menjelaskan, bid'ah yang dengannya seseorang bisa dianggap sebagai ahlul ahwa (ahlul bid'ah) adalah sebuah bid'ah yang telah masyhur di kalangan Ahlul Ilmu dan Ahlussunnah bahwa hal itu menyelisihi Kitab dan Sunnah seperti bid'ahnya Khawarij, Syi'ah, Qadariyyah, dan Murji'ah. (Majmu' Fatawa: 35/414 dari Mauqif Ahlussunnah: 1/119). Maka jika kita ketahui bahwa seseorang memiliki keyakinan yang masyhur dan jelas menyelisihi Kitab dan Sunnah menurut pandangan ulama Ahlussunnah atau menyelisihi sesuatu yang telah disepakati oleh Ahlussunnah, maka ia tergolong ahlul bid'ah.

Contoh yang paling jelas dalam hal ini seperti pribadi/kelompok yang memiliki pemahaman mengkafirkan mayoritas kaum muslimin, menolak hadits-hadits ahad (bukan mutawatir) dalam hal akidah, mencela sebagian shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, meremehkan masalah tauhid, menolak sifat-sifat Allah, mengatakan Al Qur'an bukan Kalamullah, dan menafikan takdir.

Seseorang yang mencari ilmu agama harus hati-hati dari orang yang semacam ini. Allah berfirman:
"Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain." (Al An'am: 153)

Seorang tabi'in bernama Mujahid menafsiri ayat ini, katanya: "(yang dimaksud adalah) bid'ah dan syubhat-syubhat." (Al Bid'ah, Dhowabituha... hal. 12)

Imam Malik mengatakan: "Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang -di antaranya- : seorang ahli bid'ah yang mengajak kepada bid'ahnya." (Jami' Bayanul Ilm: 821) dan banyak lagi dalil atau ucapan salaf di dalam hal ini.

4. Ahli Filsafat
Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang berusaha memahami perkara-perkara agama melalui teori-teori filsafat yang berasal dari Yunani yang mereka namakan dengan 'Ushuluddin'.

Masalah penimbangan amal di akhirat kelak, misalnya. Menurut mereka -dengan teori filsafat-, amal bukanlah dzat yang berujud sehingga tidak bisa ditimbang. Walhasil dengan pemahaman ini, mereka mengingkari nash-nash tentang timbangan amal. Padahal menurut pemahaman yang benar, kita wajib meyakininya karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Memahami agama melalui teori atau kaidah filsafat jika kebetulan sesuai dengan kebenaran maka tidak akan menyampaikan kepada kemantapan dalam berakidah, karena akan selalu tergoyah dengan teori yang lainnya yang menurut orang lain atau menurut dia sendiri di waktu lain lebih kuat.

Sampai-sampai salah seorang dari mereka mengatakan: "Aku berbaring di atas tempat tidurku dan aku tutupkan selimut di atas wajahku lalu kuadu antara dalil-dalil mereka (ahli filsafat), sampai terbit fajar dan saya tidak mendapatkan mana yang lebih kuat." (Syarah Aqidah Thahawiyah: 209) Oleh karenanya para ulama Ahlussunnah dari dulu sampai sekarang sangat keras melarang 'ilmu' ini dan mewaspadai orang-orangnya. Sampai-sampai, hampir tidak satu kitab pun dari kitab-kitab Ahlussunnah yang membahas akidah kecuali mencela filsafat. Bahkan tidak sedikit mereka yang menulis buku secara khusus mengingatkan umat tentang bahayanya filsafat.

Abu Yusuf, murid Abu Hanifah mengatakan: "Barangsiapa yang mencari ilmu agama dengan 'ilmu' kalam (filsafat), ia akan menjadi zindiq (orang yang menyembunyikan kekafiran)." (Syarh Aqidah Thahawiyah: 209) Adz Dzahabi mengatakan: "Barangsiapa yang ingin menggabung antara ilmu para Nabi 'Alaihisshalatu was Salam dan 'ilmu' para filosof dengan kepandaiannya, maka ia pasti menyelisihi mereka semuanya." (Mizanul I'tidal 3/144 dari Al Intishar: 97)

Oleh karenanya para tokoh filsafat dari muslimin menyesali tenggelamnya mereka ke dalam 'ilmu' filsafat seperti Al Ghazali, Ar Razi, As Syihristani, Al Juwaini dan yang lain. Sebetulnya penyesalan mereka itu cukup sebagai pelajaran bagi yang menginginkan keselamatan akidahnya, dan -demi Allah- cukup baginya merenungi dan mentadabburi firman Allah:
"Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya kami telah menurunkan kepadamu Al Qur'an yang dibacakan kepada mereka, sesungguhnya di dalamnya terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman." (Al Ankabut: 51)
"Katakanlah wahai Muhammad: Sesungguhnya aku hanya memperingatkan kalian dengan wahyu." (Al Anbiya: 45)

Jalan para Rasul adalah wahyu bukan filsafat!

5. Orang-orang yang Memiliki Sifat-sifat Berikut:
Tidak ikhlas dalam berilmu tapi mengharapkan harta duniawi, kedudukan atau jabatan dengan ilmunya, yang mencampur antara kebenaran dan kebatilan, dan yang tidak mengamalkan ilmunya. Karena ini adalah sifat-sifat ulama Yahudi sehingga jika ada ulama muslim yang semacam itu berarti ia menyerupai Yahudi dan termasuk ulama yang jelek (Syarh Ushul Sittah - Al Ubailan: 16). Ibnu Qudamah berkata: "Ulama yang jelek adalah yang punya maksud dengan ilmunya untuk bernikmat-nikmat dengan dunia dan mencapai kedudukan di sisi ahli dunia." (Mukhtashar Minhajul Qasidin: 35)

6. Para Pengikut Aliran Tarekat Sufi
Yakni mereka yang meyakini bahwa Allah tidak di atas langit tapi di mana-mana, atau bersatu dengan para wali, memiliki amal-amalan dzikir yang caranya mereka buat sendiri dan bukan berasal dari ajaran Nabi. Ini sesungguhnya termasuk ahlul bid'ah.

7. Orang-orang yang Mengaku Muslim tapi Terpengaruh Paham-paham Sosialis, Sekularis, Materialis atau Sejenisnya.
Atau orang-orang kafir orientalis misalnya. Semua itu mesti kita hindari, dan hal ini sebetulnya jelas, namun kita sebutkan karena adanya sebagian muslimin yang lengah dalam masalah ini atau menyepelekannya sehingga belajar ilmu agama Islam dari mereka. Bahkan yang sangat disayangkan ada pula yang berbangga dengan guru-guru yang semacam itu. Padahal dalam pepatah Arab disebut, "orang yang tidak punya tidak bisa memberi."

Akibat buruk yang nyata dari perbuatan ini adalah munculnya orang-orang yang phobi terhadap Islam seperti gerakan JIL (Jaringan Islam Liberal) misalnya. Mereka sesungguhnya tidak menyebarkan Islam tapi justru meruntuhkan Islam dan membikin keraguan terhadap agama Islam dan ajaran-ajarannya.

Semoga Allah memusnahkan atau mempersedikit orang-orang semacam ini, dan sebaliknya memperbanyak ahlul haq dan melindungi kaum muslimin dari fitnah-fitnah yang menyesatkan.
Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 15, 16, 17.