11 November 2009

BANTAHAN BAGI PELAKU BID'AH

IBADAH itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang memerintahkannya. Inilah kaidah yang harus dipegang oleh setiap muslim sehingga tidak bermudah-mudahan membuat amalan yang tidak ada perintahnya baik dari Allah maupun Rasulullah.
Sementara itu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan agama ini telah sempurna, Dia berfirman:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku dan Aku ridhai Islam sebagai agama kalian." (Al Maidah: 3)

Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di atas: "Hal ini merupakan kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta'ala yang terbesar bagi umat ini, di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, hingga mereka tidak membutuhkan agama yang lainnya, tidak pula butuh kepada nabi yang selain Nabi mereka shallallahu 'alaihi wasallam, karena itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan Dia mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan apa yang beliau halalkan dan tidak ada yang haram melainkan apa yang beliau haramkan. Tidak ada agama selain yang beliau syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan maka kabar itu benar adanya dan jujur, tidak ada kedustaan dan penyelisihan di dalamnya." (Tafsir Ibnu Katsir 2/14)

Dengan keadaan agama yang telah sempurna ini dalam setiap sisinya maka seseorang tidak perlu lagi mengadakan perkara baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya, apakah berupa penambahan ataupun pengurangan dari apa yang disampaikan dan diajarkan oleh beliau Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan dicontohkan serta diamalkan oleh salaf (pendahulu) kita yang shalih dari kalangan shahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in dan para imam yang memberikan bimbingan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri juga telah memberikan peringatan dari perkara-perkara baru yang disandarkan kepada agama, sebagaimana dalam hadits Abdullah ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, beliau Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Berhati-hatilah kalian dari perkara baru, karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan itu bid'ah dan setiap bid'ah itu adalah kesesatan." (HR. Ibnu Abi Ashim dalam kitab As Sunnah no. 25 dan hadits ini shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Albani rahimahullah)

Hadits yang semakna ini datang pula dari shahabat Al Irbadh Ibnu Sariyah radhiyallahu 'anhu.

Bila kita menemui seseorang yang mengadakan perkara baru dalam agama ini dengan keterangan yang telah kita dapatkan di atas maka perkara itu batil, tertolak dan tidak teranggap sama sekali berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara itu tertolak." (HR. Imam Bukhari no. 2697 dan Imam Muslim no. 1718 dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha)

Kata Imam Nawawi rahimahullah: "Hadits ini jelas sekali dalam membantah setiap bid'ah dan perkara yang diada-adakan dalam agama." (Syarah Muslim, 12/16)

Namun bila ada pelaku bid'ah dihadapkan padanya hadits ini, kemudian dia mengatakan bahwa bid'ah tersebut bukanlah dia yang mengada-adakan akan tetapi dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat oleh orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak mengenai pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan padanya hadits:
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak." (HR. Muslim)

Hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan akan menolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar'i. Sama saja apakah yang membuat bid'ah tersebut dia atau dia hanya sekedar melakukan bid'ah yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Demikian keterangan ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Muslim (12/16) ketika menjelaskan hadits ini.

Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata: "Dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam '...tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak', ada isyarat bahwasanya amalan-amalan yang dilakukan seharusnya di bawah hukum syariah di mana hukum syariah menjadi pemutus baginya apakah amalan itu diperintahkan atau dilarang. Sehingga siapa yang amalannya berjalan di bawah hukum syar'i, cocok dengan hukum syar'i maka amalan itu diterima, sebaliknya bila amalan itu keluar dari hukum syar'i maka amalan itu tertolak. (Jami'ul Ulum wal Hikam, 1/177)
Wallahu a'lam bishshawwab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 02/I/Rabi'ul Awwal/1424 H/Mei 2003, hal. 32-34.