22 November 2009

HUKUM BEKAS MAKANAN DAN MINUMAN HEWAN

BERKATA Ibnul Mundzir rahimahullah: "Seluruh yang kami hafal dari ahlul ilmi berpandangan bahwa bekas makanan/minuman hewan yang dimakan dagingnya itu suci. Di antara yang kami hafal berpendapat demikian ini Ats Tsauri, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Ini merupakan pendapat ahlul Madinah dan ashabur ra'yi dari ahlul Kufah." (Al Ausath 1/313) Bahkan dinukilkan dari beliau adanya ijma' (kesepakatan) dalam masalah ini.

Adapun hewan yang tidak dimakan dagingnya diperselisihkan oleh ahlul ilmi, namun kebanyakan dari mereka, di antaranya Imam Syafi'i dan Malik, berpendapat suci bekas makanan/minumam tersebut. Dan pendapat ini yang rajih, dengan alasan bahwasanya secara umum sulit untuk menghindar dari hewan-hewan ini, karena penduduk di pedesaan bejana-bejana mereka terbuka sehingga didatangi oleh hewan-hewan liar ini dan minum darinya. Seandainya kita mengharuskan mereka untuk menumpahkan air tersebut dan mewajibkan mereka untuk mencuci bejana bekas jilatan hewan tersebut niscaya hal itu sulit bagi mereka. (Syarhul Mumti', 1/396). Pendapat ini berpegang dengan hukum asal, karena sesuatu itu dihukumi suci selama tidak berubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, warna, atau rasa). Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 31.