09 November 2009

NAJISKAH DARAH?

YANG kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah selain darah haid dan nifas yang disepakati kenajisannya sebagaimana telah kami paparkan dalam pembahasan terdahulu. Memang dalam perkara ini juga terdapat perselisihan namun yang rajih/kuat darah itu suci. Ada baiknya kita menengok pembahasan yang dipaparkan Syaikh Al Albani rahimahullah: "(Mereka yang berpendapat najisnya darah) juga menyelisihi hadits Al Anshari yang dipanah oleh seorang musyrik ketika ia sedang sholat malam. Maka ia mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi dengan tiga anak panah, namun ia tetap melanjutkan shalatnya dalam keadaan darah terus mengucur dari tubuhnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu'allaq (terputus sanadnya dari Imam Bukhari sampai kepada perawi hadits) dan secara maushul (bersambung sanadnya) oleh Imam Ahmad dan selainnya, dishahihkan dalam Shahih Sunan Abu Daud (no. 193). Hadits ini dihukumi marfu' (sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) karena mustahil beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak memperhatikan hal ini.

Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau shallallahu 'alaihi wasallam akan menerangkannya, karena tidak boleh menunda keterangan pada saat diperlukan sebagaimana hal ini diketahui dari kaidah ilmu ushul. Kalau dianggap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengetahui perbuatan shahabatnya tersebut maka tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seandainya darah tersebut najis atau membatalkan wudhu niscaya Allah akan mewahyukan kepada Nabi-Nya sebagaimana hal ini jelas tidak tersembunyi bagi seorangpun. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Bukhari sebagaimana pemaparan beliau terhadap sebagian atsar yang mu'allaq, yang diperjelas oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan ini merupakan pendapatnya Ibnu Hazm".

Kemudian beliau berkata: "Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih, bisa ditinjau sebagai berikut:

Pertama: Menyamakan darah haid dengan darah lainnya seperti darah manusia dan darah dari hewan yang dimakan dagingnya adalah kesalahan yang jelas sekali dari dua sisi:
1. Tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari Al Qur'an dan As Sunnah, sementara hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali ada dalil.
2. Penyamaan seperti itu menyelisihi keterangan yang datang di dalam As Sunnah. Adapun darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dalam hadits Al Anshari yang berlumuran darah ketika shalat dan ia tetap melanjutkan shalatnya. Sedangkan darah hewan ditunjukkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, dia pernah menyembelih seekor unta hingga ia terkena darah unta tersebut berikut kotorannya, lalu diserukan iqamah maka iapun pergi menunaikan shalat dan tidak berwudhu lagi. (Riwayat Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf 1/125, Ibnu Abi Syaibah 1/392, Ath Thabrani dalam Mu'jamul Kabir 9/284 dengan sanad yang shahih darinya. Dan diriwayatkan juga oleh Al Baghawi dalam Al Ja'diyaat 2/887/2503)

Uqbah meriwayatkan dari Abi Musa Al Asy'ari radhiyallahu 'anhu: "Aku tidak peduli seandainya aku menyembelih seekor unta hingga aku berlumuran dengan kotoran dan darahnya. Lalu aku shalat tanpa aku menyentuh air". Dan sanad atsar dari Abu Musa ini dhaif (lemah).

Kemudian beliau melanjutkan:
Kedua: Membedakan antara darah yang sedikit dengan darah yang banyak (najis atau tidaknya), walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam, maka tidak ada dalil yang menunjukkannya bahkan hadits Al Anshari membatalkan pendapat ini. (Lihat Tamamul Minnah hal. 51-52)

Wallahu a'lam.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 02/I/Rabi'ul Awwal/1424 H/Mei 2003, hal. 29-30.