11 November 2009

PEMBAGIAN AMALAN

AMALAN bila ditinjau dari pembagiannya terbagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu'amalah*.

A. IBADAH

Adapun dalam amalan ibadah maka kaidah yang berlaku dalam pelaksanaannya adalah: "Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang mensyariatkannya (memerintahkannya)". Akan tetapi dari sisi penerimaan atau penolakan amalan ibadah tersebut maka perlu memperhatikan hal berikut ini:

1. Suatu amalan merupakan ibadah pada satu keadaan namun tidak teranggap pada keadaan yang lainnya sebagai ibadah. Misalnya:
- Berdiri ketika shalat. Hal ini merupakan ibadah yang disyariatkan, namun bila ada orang yang bernadzar untuk berdiri di luar shalat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala tidaklah dibolehkan karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat seorang laki-laki berdiri di bawah terik matahari karena nadzar yang hendak ia tunaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kemudian beliau shallallahu 'alaihi wasallam dengan serta mata memerintahkan orang itu untuk duduk dan tidak berjemur di bawah terik matahari (sebagaimana disecutkan dalam hadits riwayat Bukhari no. 6704)
- Thawaf yang disyariatkan padanya di Baitullah namun ada di antara manusia yang melaksanakannya di selain Baitullah seperti kuburan wali atau yang lainnya.
- Pelaksanaan haji di luar bulan haji.
-Puasa Ramadhan di luar bulan Ramadhan atau ketika hari raya padahal ada nash yang menunjukkan tidak bolehnya berpuasa pada hari raya tersebut.
- Dan yang semisal dengan perkara-perkara yang telah kami sebutkan di atas.

2. Suatu amalan yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syariat. Misalnya:
- Beribadah di sisi Ka'bah dengan siulan, tepuk tangan dan telanjang.
- Mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengarkan musik/nyanyian dan minum khamr.

Maka amalan seperti ini batil, tidak diterima bagkan ini merupakan kebid'ahan yang pelakunya dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari agama ini apa yang Allah tidak mengizinkannya?" (Asy Syuura: 21)

3. Menambah satu perkara atau lebih terhadap amalan yang disyariatkan. Amalan seperti ini jelas tertolak (akan tetapi dari sisi batal atau tidaknya ibadah tersebut maka perlu dilihat keadaannya). Misalnya:
- Ibadah shalat yang telah disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ditambah jumlah rakaatnya. Yang demikian ini membatalkan ibadah tersebut.
- Berwudhu dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali. Yang demikian ini tidak membatalkan wudhu tersebut, namun pelakunya terjatuh pada sesuatu yang dibenci**.

4. Mengurangi terhadap amalan yang disyariatkan. (Dari sisi batal atau tidaknya maka perlu dilihat dulu tergadap apa yang dikurangi dari ibadah tersebut. Misalnya:
- Shalat tanpa berwudhu sementara ia berhadats maka shalatnya itu batal karena wudhu itu merupakan syarat sahnya shalat.
- Meninggalkan satu rukun dari rukun-rukun ibadah maka ibadah itu batal.
- Laki-laki yang meninggalkan shalat lima waktu dengan berjamaah dan mengerjakannya sendirian, maka shalatnya itu tidaklah batal tapi shalatnya itu kurang nilainya dan ia berdosa karena meninggalkan kewajiban berjamaah.

B. MUAMALAH

Pembicaraan tentang muamalah maka kaidah yang ada adalah:
"Hukum asal muamalah itu boleh/halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarangnya dan mengharamkannya)."

Adapun perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan dalam muamalah ini bisa kita sebutkan sebagai berikut:

1. Bermuamalah untuk mengganti aturan syariat.
Maka perkara ini tidak diragukan lagi kebatilannya, dengan contoh mengganti hukum rajam bagi orang yang berzina dengan tebusan berupa harta benda. Hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang pemuda yang belum menikah berzina dengan istri orang lain. Ayah si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada putranya adalah rajam maka ia ingin mengganti hukum itu dengan memberi tebusan kepada suami si wanita tersebut berupa seratus ekor kambing berikut seorang budak perempuan. Lalu ia dan suami si wanita mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengadukan hal tersebut dan meminta diputuskan perkara mereka dengan apa yang ada dalam Kitabullah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab permintaan mereka:
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan Kitabullah. Kambing dan budak perempuan yang ingin kau jadikan tebusan itu ambil kembali, sedangkan hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun."

Lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada salah seorang dari shahabatnya untuk mendatangi wanita yang diajak berzina oleh pemuda tersebut untuk meminta pengakuannya. Dan ternyata wanita itu mengakui perbuatan zina yang dilakukannya hingga ditimpakan padanya hukum rajam. (Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam shahihnya, pada Kitabul Hudud no. 2695, 2696, demikian pula Imam Muslim dalam Shahih Muslim no. 1697, 1698)

2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat.
- Akad yang tidak layak untuk diputuskan. Seperti melakukan akad nikah dengan wanita yang haram untuk dinikahi karena sepersusuan atau mengumpulkan dua wanita yang bersaudara sebagai istri.
- Akad yang hilang darinya satu syarat di mana syarat tersebut tidak bisa gugur dengan ridhanya kedua belah pihak. Seperti menikahi wanita yang sedang menjalani masa 'iddah, nikah tanpa wali atau menikahi istri yang masih dalam naungan suaminya.
- Melakukan akad jual beli yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti jual beli dengan cara riba, jual beli minuman keras, bangkai, babi dan sebagainya.
- Akad yang berakibat terdzaliminya salah satu dari dua belah pihak. Seperti seorang ayah menikahkan putrinya yang dewasa tanpa minta izin kepadanya. Maka akad ini tertolak ketika anak itu tidak ridha dan menuntut haknya namun bila ia ridha akad tersebut sah.

Seluruh akad yang dilarang oleh syariat adalah batil, demikian pula hasilnya karena apa yang dibangun di atas kebatilan maka ia batil pula. Wallahu ta'ala a'lam bish shawwab.

Catatan:
*) Pembahasan ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jami'ul Ulum wal Hikam yang kami ringkaskan dengan memberikan beberapa tambahan.
**) Dan yang bisa melihat keadaan-keadaan ini adalah seorang yang mengerti ilmu sehingga di sini kami menghasung untuk menuntut ilmu syar'i dan berhati-hati dari menambah amalan ibadah.
Sebagai tambahan faidah, berkata guru kami Syaikh Muqbil rahimahullah dalam salah satu majelis beliau yang mubarak: "Ibadah tidaklah bisa dikatakan batal oleh seorang pun sampai ada dalil yang menyatakan batalnya ibadah tersebut sehingga kita jangan bermudah-mudah menyatakan batalnya satu ibadah tanpa dalil syar'i." (demikian ucapan beliau yang kami nukilkan secara makna).


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 02/I/Rabi'ul Awwal/1424 H/Mei 2003, hal. 34-35.