03 November 2009

RIHLAH UNTUK MENUNTUT ILMU

DALAM menuntut ilmu terkadang harus melakukan perjalanan yang jauh (rihlah) ke daerah lain. Bahkan tak jarang dilakukan lintas negara.

Dalam Kitab Hilyah Thalibul Ilmi hal. 51 disebutkan, seseorang tidak pantas dikunjungi para penuntut ilmu untuk diambil ilmunya, jika orang tersebut dahulu tidak melakukan perjalanan untuk mencari guru dan mengambil ilmu darinya. Karena, para ulama yang dikunjungi telah melewatkan waktunya dalam belajar dan mengajar, memiliki faedah-faedah ilmiah, dan pengalaman atau yang semacamnya yang jarang diperoleh dari perut-perut buku.

Oleh karenanya, para ulama terdahulu hampir semuanya melakukan rihlah dari satu negeri ke negeri yang lain, memotong lembah, mendaki gunung, menyeberangi lautan, dan membelah padang pasir untuk menuntut ilmu meski dengan bekal yang sangat minim.

Salah satu dari mereka adalah Abdullah bin Mubarak. Imam Ahmad mengisahkan, di masa Abdullah tidak ada yang lebih semangat menuntut ilmu darinya. Ia merantau ke Yaman, Mesir, Syam, Bashrah dan ke Kufah (keduanya masuk dalam wilayah Irak, red). Beliau termasuk para perawi ilmu dan ahli untuk itu. (Qawaid Fitta'amul Ma'al Ulama: 34)

Seorang tabi'in, Said bin Al Musayyib berkata: Sungguh aku dulu melakukan safar berhari-hari dalam mencari satu hadits. Asy Sya'bi mengatakan: Kalau seandainya seorang melakukan safar dari ujung Syam (ujung jazirah Arab, red) sampai ke ujung Yaman lalu mendengar satu kata yang bermanfaat buatnya di masa yang akan datang untuk urusannya, saya berpendapat safarnya tidak sia-sia. (Adab Syar'iyyah: 2/55)

Sebelum mereka, para shahabat juga telah mencontohkan yang demikian ini. Jabir bin Abdillah menceritakan: Sampai kepadaku sebuah hadits yang berasal dari seseorang yang mendengar langsung dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka aku beli seekor unta, lalu aku persiapkan perjalanan, kemudian aku jalani perjalanan selama satu bulan sehingga aku sampai di negeri Syam (sekarang mencakup Palestina, Yordania, Syiria, dan sekitarnya, red).

Maka aku dapati di sana Abdullah bin Unais, lantas aku katakan kepada penjaga pintu: Katakan kepadanya bahwa Jabir ada di depan pintu. Dia menjawab: Bin (anak) Abdullah? Jabir jawab: Ya.
Lalu Abdullah bin Unais keluar dan memelukku maka kukatakan: Ada sebuah hadits sampai kepadaku dari seseorang kemudian darimu bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Aku khawatir kalau aku atau kamu meninggal sebelum aku mendengarnya langsung darimu.

Maka dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah mengumpulkan hamba-hamba -atau manusia- pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak sunat dan buhman. Kami bertanya: Apa makna buhman? Beliau menjawab: Tidak membawa apapun. Lalu Allah menyeru dengan suara yang didengar oleh yang jauh -saya menyangka beliau mengatakan: sebagaimana mendengarnya yang dekat- Akulah raja, tidak pantas seorang penduduk surga masuk surga sedang ada dari penduduk neraka yang menuntut darinya sebuah kedzaliman, dan tidak pantas seorang ahli neraka masuk neraka sedang salah seorang dari penduduk surga menuntutnya sebuah kedzaliman. Maka kukatakan: Bagaimana? Padahal kita datang kepada Allah dalam keadaan telanjang dan tidak membawa apapun? Beliau menjawab: Dengan kebaikan dan kejelekan (Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 746 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Adabul Mufrad hal 371-372 no. 746 dan lihat Fathul Bari 1/179-174).


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 02/I/Rabi'ul Awwal/1424 H/Mei 2003, hal. 17.