19 November 2009

SAUDAH BINTU ZAM'AH, Pengisi Kesunyian H

TERSEBUT satu nama mulia yang tak kan lepas dari kehidupan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mengisi kesunyian jiwa beliau setelah wafatnya Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu 'anha. Dia Ummul Mukminin Saudah bintu Zam'ah bin Qais bin 'Abdi Syams bin 'Abdi Wadd bin Nashr bin Malik bin Hasl bin 'Amir bin Lu'ai Ghalib Al Qurasyiyyah Al 'Amiriyyah yang memiliki kunyah Ummul Aswad. Ibunya adalah Asy Syamus bintu Qais bin Zaid bin 'Amr bin Labid bin Khaddasy bin 'Amir bin Ghanam bin 'Adi bin An Najjar.

Bersama suaminya, As Sakran bin 'Amr Al 'Amiry, Saudah bintu Zam'ah menyongsong cahaya keimanan yang dibawa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Walaupun dengan itu, ia harus menanggung derita dan siksaan dari orang-orang musyrikin yang hendak mengembalikan mereka ke dalam kesesatan dan kesyirikan.

Saat siksaan dan himpitan itu bertambah berat, berhijrahlah Saudah dan suaminya dalam barisan delapan orang shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Namun tak berapa lama muhajirin Habasyah ini balik kembali ke negeri mereka.

Sekembalinya mereka dari Habasyah ke Mekkah, As Sakran bin 'Amr meninggal dunia. Saudah bintu Zam'ah kehilangan suami tercinta. Kini dia menjanda.

Sementara itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tengah merasakan kesedihan dengan hilangnya wanita yang dicintainya, yang beriman kepada beliau saat manusia mengingkarinya, yang menopang dengan hartanya saat manusia enggan memberinya dan yang darinya beliau mendapatkan buah hati. Kesedihan yang teramat dalam, hingga tak seorang pun dari kalangan shahabat beliau yang berani menyinggung masalah pernikahan di hadapan beliau. Namun seorang shahabiyah, Khaulah bintu Hakim As Sulamiyah, mengetuk pintu hati Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan pertanyaannya, "Tidakkah engkau ingin menikah lagi, wahai Rasulullah?"

Dengan nada penuh kesedihan dan kegalauan, Rasulullah balik bertanya, "Adakah lagi seseorang setelah Khadijah?" Khaulah pun menjawab, "Kalau engkau menghendaki, ada seorang gadis. Atau kalau engkau menghendaki, ada pula yang janda." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya lagi, "Siapa yang gadis?" Jawab Khaulah, "Putri orang yang paling engkau cintai, Aisyah putri Abu Bakr."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terdiam sesaat, kemudian bertanya lagi, "Siapa yang janda?" Khaulah menjawab, "Saudah bintu Zam'ah, seorang wanita yang beriman kepadamu dan mengikuti ajaranmu."

Tawaran Khaulah mengantarkan Saudah bintu Zam'ah memasuki gerbang rumah tangga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Hati beliau tersentuh dengan penderitaan wanita muhajirah ini. Lebih-lebih di saat itu Saudah memasuki usia senja, tentu lebih layak mendapatkan perlindungan.

Maka pada tahun kesepuluh setelah beliau diangkat sebagai nabi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikah dengannya. Di masa itu pula beliau melaksanakan akad nikahnya dengan Aisyah bintu Abi Bakr Ash Shiddiq. Saudah meminta kepada Hathib bin 'Amr Al 'Amiry, salah seorang shahabat dari kaumnya yang pernah turut dalam perang Badr dan juga ikut berhijrah ke Habasyah untuk menikahkannya.

Seorang diri Saudah mendampingi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selama tiga tahun lebih hingga tiba saat Aisyah radhiyallahu 'anha menyusulnya hadir dalam rumah tangga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Madinah.

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hijrah ke Madinah, Saudah bintu Zam'ah bersama keluarga Rasulullah yang lain masih tinggal di Mekkah. Setelah usai pembangunan masjid dan tempat tinggal beliau di Madinah, barulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Zaid bin Haritsah dan Abu Rafi' radhiyallahu 'anhuma untuk menjemput Saudah dan putri-putri beliau.

Berangkatlah mereka berdua berbekal lima ratus dirham dan dua ekor unta. Dengan lima ratus dirham itu mereka membeli tiga ekor unta. Kemudian mereka berdua masuk ke kota Mekkah untuk membawa Saudah bintu Zam'ah beserta putri-putri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Fathimah dan Ummu Kultsum. Pada saat itu juga Zaid menjemput istrinya, Ummu Aiman, dan putranya Usamah bin Zaid ke bumi hijrah, Madinah.

Hari terus bergulir, usia pun bertambah. Saudah mengerti bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya semata-mata karena rasa iba beliau dengan keadaannya setelah suaminya tiada. Semakin jelaslah semua itu ketika beliau bermaksud menceraikannya dengan cara yang sebaik-baiknya agar tidak melukai hatinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan keinginannya ini kepadanya. Maka di hadapan beliau, dengan dada yang sesak, Saudah bintu Zam'ah berbisik lirih, "Tahanlah aku, wahai Rasulullah. Demi Allah, aku tidak lagi memiliki keinginan terhadap pernikahan. Namun aku sangat berharap kelak di hari kiamat Allah akan membangkitkan diriku sebagai istrimu."

Wanita mulia yang mengharapkan kemulian. Dia utamakan keridhaan suaminya yang mulia, hingga dia berikan pula hari gilirannya untuk Aisyah, istri yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan beliau pun menerimanya.

Peristiwa ini menyisakan sesuatu yang teramat berarti. Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat 128 dari Surat An Nisaa':
"Maka tidak mengapa atas kedua suami istri itu mengadakan perdamaian dengan sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik."

Tetaplah kemuliaan itu dia dapatkan sampai tiba saatnya dia menghadap Rabbnya Azza wa Jalla pada akhir masa pemerintahan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu di Madinah An Nabawiyyah.

Jejaknya masih terasa, sejarahnya masih terbaca. Saudah bintu Zam'ah, semoga Allah meridhainya....

Maraji':
Ats Tsiqaat karya Ibnu Hibban, Al Isti'aab karya Ibnu Abdil Bar, Al Ishaabah fi Tamyizis Shahabah karya Ibnu Hajar Al Atsqalani, Siyar A'lamun Nubala karya Adz Dzahabi, Tahdzibul Kamaal karya Al Mizzi, dan Syarah Shahih Muslim karya An Nawawi.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 02/I/Rabi'ul Awwal/1424 H/Mei 2003, hal. 53-54.