19 November 2009

SEPUTAR NIFAS

BAGI umumnya wanita, mengalami nifas bisa dikatakan merupakan suatu keniscayaan. Karena itu sudah sepantasnya mereka mengetahui hukum-hukum seputar nifas ini.

Darah nifas erat kaitannya dengan kelahiran anak, apakah lahirnya sempurna atau tidak sempurna, hidup ataupun mati. Sebab, darah nifas merupakan darah yang keluar dari rahim karena melahirkan, baik keluarnya bersamaan dengan proses kelahiran, setelahnya, maupun 2-3 hari sebelumnya yang disertai rasa sakit ketika akan melahirkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata yang maknanya: "Wanita yang akan melahirkan bila melihat darah keluar dari kemaluannya yang disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas dan tidak dibatasi 2 atau 3 hari. Yang dimaksud rasa sakit di sini adalah rasa sakit yang diikuti dengan kelahiran. Jika tidak, maka tidak termasuk darah nifas." (Lihat Risalah fid Dima'ith Thabi'iyyah Lin Nisa' hal. 51, Asy-Syaikh Muhammad bin Al-'Utsaimin)

Sementara Asy-Syaikh Muhammad bin Al-'Utsaimin rahimahullah menyatakan: "Tidaklah darah itu teranggap nifas kecuali bila janin yang dilahirkan telah jelas bentuknya sebagai anak manusia. Seandainya yang keluar dari rahim hanya berupa potongan daging kecil yang tidak jelas bentuknya sebagai bentuk manusia maka darah yang keluar tersebut bukanlah darah nifas, tetapi darah urat dan hukumnya sama dengan darah istihadhah. Waktu minimal telah jelasnya bentuk janin sebagai bentuk manusia adalah 80 hari, mulai dari awal kehamilan dan umumnya 90 hari." (Risalah fid Dima', hal. 52-53)


Antara Nifas dan Haid

Sebagian ulama mengatakan bahwa darah nifas adalah darah haid. Darah haid ini tertahan keluarnya semasa hamil karena difungsikan untuk pemberian makan bagi janin. Apabila janin yang dikandung telah lahir dan terputus urat yang menjadi tempat aliran darah tersebut, keluarlah darah haid dari kemaluan sebagai darah nifas.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menggunakan istilah nifas kepada Aisyah yang sedang haid. Beliau bertanya:
"Apakah engkau nifas (yakni haid)?" (Shahih, HR. Bukhari dalam Shahihnya no. 294)

Terlepas dari kesamaan istilah ini, darah nifas memiliki sejumlah perbedaan dengan darah haid, diantaranya:
Pertama, masa nifas lebih panjang.
Kedua, nifas bukanlah ukuran 'iddah seorang wanita yang bercerai dengan suaminya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Wanita-wanita yang sedang hamil (bila bercerai dengan suami) berakhir masa 'iddahnya dengan melahirkan." (Ath Thalaq: 4)

Jadi 'iddah wanita hamil dinyatakan selesai dengan kelahiran anaknya, bukan dengan keluarnya darah nifas. Apabila talak jatuh setelah wanita itu melahirkan, maka ia menanti hingga haidnya kembali untuk perhitungan 'iddah.
Ketiga, perhitungan 'ila menggunakan haid, bukan dengan nifas.
Keempat, wanita dinyatakan telah baligh dengan keluarnya darah haid, bukan darah nifas.


Hukum-hukum Nifas

Hukum nifas sama dengan hukum haid. Sehingga seorang yang tengah nifas, ia harus meninggalkan shalat dan puasa.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al Mughni (1/350): "Hukum-hukum wanita yang nifas sama dengan hukum-hukum wanita yang haid pada seluruh perkara yang diharamkan dan perkara yang digugurkan padanya, dan kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini. Demikian pula diharamkan untuk menggauli wanita nifas namun halal bercumbu dengannya (selain jima'). Tentang halalnya bercumbu ini, terdapat perselisihan tentang kafarahnya apabila terjadi jima'."

Imam Asy Syaukani juga menyebutkan ijma' ulama tentang kesamaan nifas dengan haid pada seluruh perkara yang dihalalkan, diharamkan dan disunnahkan. (Lihat Nailul Authar 1/394)

Bila seorang wanita selesai dari nifasnya, ia wajib untuk mandi sebagaimana wajibnya mandi bagi wanita yang selesai dari haid. Kewajiban mandi ini merupakan ijma' (kesepakatan) kalangan ulama seperti dinukilkan Imam An Nawawi rahimahullah. (Lihat Jami' Ahkamin Nisa' 1/242)


Lama Nifas

Kaitannya dengan masa nifas, para ulama berselisih pendapat tentang batasannya. Imam Malik rahimahullah berpendapat, tidak ada batasan minimalnya, demikian pula Imam Syafi'i rahimahullah. Abu Hanifah rahimahullah berpendapat, ada batasan minimalnya yaitu 25 hari. Murid Abu Hanifah bernama Abu Yusuf berpandangan minimalnya 11 hari. Sedangkan Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata minimalnya 20 hari.

Adapun batasan maksimalnya, Imam Malik rahimahullah suatu kali berpendapat 60 hari, kemudian meralatnya dan berkata: "Tentang hal itu ditanyakan kepada para wanita." (Selanjutnya silakan baca: BATASAN MASA NIFAS)


Mandi untuk Ihram

Al Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Aisyah radhiyallahu 'anha. Ia berkata:
"Asma bintu Umais radhiyallahu 'anha nifas karena melahirkan Muhammad bin Abi Bakar di Syajarah. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar agar menyuruh Asma mandi dan bertalbiyah." (HR. Muslim no. 1209)

Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam syarah (penjelasan) hadits di atas berkata: "Hadits ini menunjukkan sahnya ihram wanita yang sedang nifas ataupun sedang haid, dan disunnahkannya bagi keduanya untuk mandi sebelum ihram dan disepakati perintah dalam hal ini. Namun madzhab kami, madzhab Malik, Abu Hanifah, dan jumhur berpendapat mustahab saja (tidak wajib). Adapun Al Hasan Al Bashri dan ahlu dzahir berpendapat wajib." (Syarah Shahih Muslim 3/301)

Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 02/I/Rabi'ul Awwal/1424 H/Mei 2003, hal. 55, 56, 58.