21 Oktober 2009

HUKUM BANGKAI

BEGITU pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Imam Nawawi dalam Al Majmu'.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya." (HR. Muslim no. 105)

Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya.

Dikecualikan dari bangkai ini adalah:
1. Bangkai manusia dengan keumuman sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Sesungguhnya mukmin itu tidak najis." (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)

2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut..." (Al Maidah: 96)

Imam Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tafsir dari ayat di atas, yakni yang dimaksud dengan 'shoiduhu' adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan 'tho'aamuhu' adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (telah menjadi bangkai).

Dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Laut itu suci airnya dan halal bangkainya." (Hadits shahih diriwayatkan Ashabus Sunan dan dishahihkan Syaikh Albani dalam kitab beliau Ash Shahihah 1/480)

3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka, seperti lalat, belalang, kalajengking, dan lainnya. Berdalil dengan hadits:
"Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya." (HR. Bukhari no. 3320)

Imam Ash Shan'ani rahimahullah berkata:
"Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan memperbaiki makanan yang ada, tidak merusakkannya." (Subulus Salam)

Ketiga poin di atas sebenarnya ada perselisihan pendapat tentang kenajisannya, namun pendapat yang kuat dengan dalil yang ada, ketiganya bukanlah najis, wallahu a'lam bishawwab.

Sudah semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam agamanya khususnya dalam pembahasan kita tentang najasat agar tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusakkan ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Wallahu a'lam.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 01/I/Shafar/1424 H/April 2003, hal. 31.