20 Oktober 2009

JALAN SELAMAT MENGHADAPI FITNAH

DALAM menghadapi fitnah-fitnah yang ada, Ahlu Sunnah wal Jamaah telah memberikan tuntunan-tuntunan berupa sikap yang bijaksana sehingga dapat menghalau fitnah-fitnah itu atau meminimalkannya. Diantara sikap yang sangat penting dalam hal ini adalah merujuk kepada para ulama, meminta bimbingan dan pengarahan mereka dalam menghadapinya.

Mengapa demikian? Kenapa perkara ini tidak diserahkan kepada masing-masing individu saja agar mereka menentukan sikap sendiri-sendiri? Menjawab pertanyaan yang terkadang muncul itu, kita katakan bahwa perkara fitnah bukan perkara biasa, bahkan perkara yang amat berbahaya sebagaimana telah disinggung. Dan tidak setiap orang bisa menyikapinya dengan tepat dan bijak sehingga kita kembalikan kepada para ulama karena beberapa hal.

Pertama, karena fitnah pada awal munculnya tidak ada yang mengetahui kecuali para ulama. Bila sudah berlalu baru orang-orang jahil ikut mengetahuinya sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu.

Kedua, menyikapi fitnah sangat diperlukan pertimbangan maslahat (keuntungan) dan mafsadah (kerusakan) yang akan diakibatkan, terutama yang berkaitan erat dengan syariat. Dan yang sangat mengerti dalam masalah ini adalah para ulama. Juga peninjauan perkara itu dilihat dari sekian banyak sisi syariat yang tidak mungkin bagi orang awam bahkan pemula thalabul ilmi (penuntut ilmu agama) untuk memahami perkara yang sifatnya umum dan menyeluruh.

Sehubungan dengan ini Iman Nawawi menjelaskan, jika sebuah kemungkinan ada pada masalah-masalah yang pelik baik dari perbuatan atau perkataan dan membutuhkan ijtihad, maka tiada jalan bagi orang awam untuk terlibat di dalamnya. Itu hak para ulama.

Ketiga, bahwa Islam telah memberikan tuntunan-tuntunan yang berkaitan dengan fitnah dan yang mengetahuinya adalah para ulama.

Keempat, Islam memerintahkan dan menganjurkan untuk bertanya kepada ahlu dzikir (ulama) pada permasalahan yang tidak diketahuinya.

Allah berfirman:
"Bertanyalah kepada ahlu dzikr jika kalian tidak mengetahui." (An Nahl: 43)

Kelima, mengembalikan perkara ini kepada orang-orang awam akan mengakibatkan terpecahnya persatuan kaum muslimin. Syaikh Shalih Al Fauzan menyatakan, "Allah menjadikan perkara-perkara perdamaian dan peperangan serta urusan-urusan yang sifatnya umum dan menyeluruh kembalinya kepada para umara dan ulama secara khusus. Dan tidak boleh untuk masing-masing individu masuk dalam perkara ini, karena yang demikian akan mengacaukan urusan dan memecah persatuan serta memberikan peluang kepada orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan jahat yang selalu menunggu-nunggu bencana untuk kaum muslimin." (Lihat Qowaid fitta'amul ma'al ulama': 120-122)

Keenam, yang mampu menganalisa hakekat akibat dari fitnah adalah para ulama yang benar-benar kokoh dalam berilmu. Ibnu Qoyyim menjelaskan, "Tidak setiap orang yang mengerti fiqh dalam bidang agama mengerti takwil, hakekat yang berakhir padanya sebuah makna. Yang mengetahui perkara ini khusus orang-orang yang kokoh dalam berilmu." (I'lamul Muwaqqi'in 1:332 dari Madarikun Nadhar: 163)

Beberapa alasan tersebut sangat cukup untuk menjadi landasan dalam berpijak di atas prinsip ini yaitu merujuk para ulama dalam perkara fitnah. Dan alangkah baiknya kalau kita merenungi beberapa ayat atau hadits yang memerintahkan atau mengandung anjuran untuk melakukan hal ini sebagaimana telah diisyaratkan di atas.

( Penulis: Ustadz Qomar Suaidi )


Sumber: Majalah Syari'ah, No.01/I/Shafar 1424 H/April 2003 hal. 11-12