24 Oktober 2009

HUKUM MELAFADZKAN NIAT

SYAIKH MUQBIL BIN HADI AL WADI'I rahimahullah ditanya:
"Apakah melafadzkan niat termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama (bid'ah), sementara di dalam kitab Al Umm disebutkan keterangan hal ini secara samar (yakni niat harus dilafadzkan)? Jelaskan pada kami tentang permasalahan ini, Barakallahu fiikum.

JAWAB: Melafadzkan niat teranggap sebagai perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid'ah), sementara Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya yang muiia:
"Katakanlah: Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah tentang agama kalian?" (Al Hujurat: 16)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada orang yang jelek shalatnya:
"Apabila engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah."

Di sini beliau tidak mengatakan kepada orang tersebut: "Katakanlah 'nawaitu ( aku berniat)' (sebelum mengucapkan takbir).

Ketahuilah ibadah shalat, wudhu', dan juga ibadah-ibadah yang lainnya memang tidak sah kecuali dengan niat. Oleh karena itu dalam pelaksanaan ibadah seluruhnya haruslah ada niat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung kepada niatnya."

Namun perlu diketahui, tempat niat itu di hati dan keliru apabila dikatakan bahwa di dalam kitab Al Umm disebutkan tentang melafadzkan niat. Ini salah, bahkan hal ini tidak ada di dalam kitab Al Umm tersebut. (Ijabatus Sa-il hal. 27)

Berkata Ibnul Qayyim Al Jauzizah rahimahullah:
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apapun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan:
"Aku tunaikan untuk Allah shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum."
Demikian pula ucapan "adaa-an" atau "qodhoo-an" ataupun "fardho...".

Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid'ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam baik dengan sanad yang shahih, dha'if, musnad (bersambung sanadnya) ataupun mursal (terputus sanadnya). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat. Begitu pula tidak ada salah seorang pun dari kalangan tabi'in maupun imam yang empat yang menganggap baik hal ini.

Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang sekarang) keliru dalam memahami ucapan Imam Syafi'i -semoga Allah meridhainya- tentang shalat. Beliau mengatakan: "Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan dzikir."
Mereka menyangka bahwa dzikir yang dimaksud adalah ucapan niat seorang yang shalat. Padahal yang dimaksudkan Imam Syafi'i -semoga Allah merahmatinya- dengan dzikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Imam Syafi'i menyukai perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam satu shalat pun, begitu pula dengan para khalifah beliau dan para sahabat yang lain. Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan ketundukkan dan penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari pembawa syariat shallallahu 'alaihi wasallam. (Zaadul Ma'ad: 1/201)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 01/I/Shafar/1424 H/April 2003, hal. 35.