25 Oktober 2009

HUKUM MENTALAK ISTRI KETIKA HAID

KETIKA istri sedang haid, haram bagi suaminya untuk mentalaknya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri kalian maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) iddahnya...." (Ath Thalaq: 1)
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anha menafsirkan: "Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya." (Tafsirul Qur'anil Adhim 4/485)

Jadi bila talak hendak dijatuhkan maka harus pada masa suci si wanita (tidak dalam keadaan haid) dan belum disetubuhi ketika suci tersebut. Demikian hal ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Atha', Mujahid, Al Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun bin Mihran dan Muqatil bin Hayyan. (Lihat Tafsirul Qur'anil Adhim 4/485)

Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menyebutkan: "Ada tiga keadaan yang dikecualikan dalam pengharaman talak ketika istri sedang haid (yakni boleh mentalaknya walaupun dalam keadaan haid):
Pertama, apabila talak dijatuhkan sebelum ia berduaan dengan si istri atau sebelum ia sempat bersetubuh dengan si istri setelah atau selama nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada 'iddah bagi si wanita dan tidak haram menceraikannya dalam masa haidnya.
Kedua, apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil karena lamanya 'iddah wanita hamil yang dicerai suaminya adalah sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya bukan dihitung dengan masa haidnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Wanita-wanita yang hamil masa iddahnya adalah sampai mereka melahirkan anak yang dikandungnya." (Ath Thalaq: 4)
Ketiga, apabila talak dijatuhkan dengan permintaan istri dengan cara ia menebus dirinya dengan mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan suaminya atau diistilahkan khulu'.
Hal ini dipahami dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dalam Shahih Bukhari (no. 5273, 5374, 5375, 5376). Disebutkan bahwasanya istri Tsabit bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu menyatakan keinginannya untuk berpisah dengan suaminya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya untuk mengembalikan kebun yang pernah diberikan kepadanya dan memerintahkan Tsabit untuk menerima pengembalian tersebut dan menceraikan istrinya. Dalam hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sama sekali tidak menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 01/I/Shafar/1424 H/April 2003, hal. 57-58.