20 Oktober 2009

SYARAT DITERIMANYA AMAL

AMAL yang akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta'ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:

Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus." (Al Bayyinah: 5)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya." (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau bersabda:
"Dan barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak." (Shahih, HR Muslin dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan, "Yang penting kan niatnya." Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Jika istilah "yang penting niat" itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, pezina, pemabuk, pemakan riba', pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid'ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak tahu bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan istrinya.

Apakah seseorang melakukan bid'ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.

Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.

Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya." (Al Mulk: 2)

Muhammad bin 'Ajlan berkata: "Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya." Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396.

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.

Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah - Muhammadarrasulullah.
Wallahu a'lam.

( Penulis: Ustadz Abdurrahman Lombok )


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 01/I/Shafar/1424 H/April 2003, hal. 8.