21 Oktober 2009

HUKUM KOTORAN (TAHI) DAN KENCING MANUSIA

NAJISNYA kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat yang mulia, Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu. Beliau menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat bersama para shahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para shahabat. Selesai shalat, beliau shallallahu 'alaihi wasallam mempertanyakan perbuatan para shahabatnya tersebut dan memberitahukan alasan melepas sandal yaitu dikarenakan Jibril mengabarkan bahwa di sandal beliau shallallahu 'alaihi wasallam ada kotoran, dan beliau bersabda:
"Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat."
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan berkata Syaikh Muqbil rahimahullah tentang hadits ini dalam karya beliau Al Jami'ush Shahih Mimma Laysa fish Shahihain juz 1, hal. 526: ini adalah hadits shahih, rijalnya (para periwayatnya) adalah rijal Shahih Al Bukhari)

Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diadzab. Dikatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
"Adapun salah seorang dari keduanya tidak membersihkan diri dari kencingnya. (HR. Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)

Masalah kenajisan kotoran dan kencing manusia ini -banyak ataupun sedikit- disepakati oleh ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing beliau berpendapat, jika didapati kencing setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan. Namun sebagaimana diterangkan di atas, kencing manusia -baik banyak ataupun sedikit- adalah najis, dengan dalil yang jelas dan terang, serta merupakan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim. Sedangkan apa yang datang dari Abu Hanifah adalah pendapat yang tertolak.

Lain halnya dengan kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah mengunyah sesuatu -dalam hal ini kurma- sampai lumat kemudian dimasukkan/digosok-gosokkan ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir) dan madu untuk pengobatan. Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu bukan najis sehingga mereka bermudah-mudahan dalam hal ini.

Walaupun dalam hal ini ada perselisihan ulama, pendapat yang kuat menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil keringanannya diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti dalam hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (no. 223) dan Imam Muslim (no. 287):

Ummu Qais bintu Mihshan Al Asadiyah membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu Rasulullah mendudukan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Maka Rarulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya (hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya. (Dalam lafadz lain: lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing tersebut)

Walaupun najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan mengguyurkan air padanya sesuai dengan apa yang bisa kita lihat pada hadits di atas.

(Penulis: Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsary)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 01/I/Shafar/1424 H/April 2003, hal. 28-29.