27 November 2009

AISYAH BINTU ABI BAKR, Belahan Jiwa Rasu

DIALAH 'Aisyah bintu Abi Bakr Abdillah bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Amr bin Sa'd bin Taim bin Murrah bin Ka'b bin Lu'ay al Qurasyiyyah At Taimiyyah Al Makkiyyah radhiyallahu 'anhu. Dia seorang wanita yang cantik dan berkulit putih sehingga mendapat sebutan al Humaira'. Ibunya bernama Ummu Ruman bintu Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams bin Attab bin Udzainah al Kinaniyyah. Dia lahir ketika cahaya Islam telah memancar, sekitar delapan tahun sebelum hijrah. Dihabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan sang ayah, kekasih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, seorang sahabat yang mulia, Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu.

Belum tuntas masa kanak-kanaknya ketika datang pinangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan akad pernikahan dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam wahyu berupa mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri beliau.

Dilaluinya hari-hari setelah itu di tengah keluarganya hingga tiba saatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjemputnya -tiga tahun kemudian, seusai beliau kembali dari pertempuran Badr- untuk memasuki rumah tangga yang penuh cahaya nubuwwah di Madinah. Tidak satu pun istri-istri beliau yang dinikahi dalam keadaan masih gadis kecuali Aisyah radhiyallahu 'anha.

Seorang wanita yang mulia, sabar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di tengah kefakiran dan rasa lapar, hingga terkadang hari-hari yang panjang berlalu tanpa nyala api untuk memasak makanan apa pun. Yang ada hanyalah kurma dan air.

Seorang istri yang menyenangkan suaminya yang mulia, menggiring kegembiraan ke dalam hatinya, menghilangkan segala kepayahan dalam menjalani kehidupan dakwah untuk menyeru manusia kepada Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan banyak keutamaan baginya, di antaranya dengan meraih kecintaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kecintaan yang tak tersamarkan, tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan hal itu dari lisannya yang mulia, hingga para sahabat pun berusaha mendapatkan ridha Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hal ini. Siapapun yang ingin memberikan hadiah kepada beliau biasa menangguhkannya hingga tiba saatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berada di tempat Aisyah.

Di sisi lain, ada istri-istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, wanita-wanita mulia yang tak lepas dari tabiat mereka sebagai wanita. Tak urung kecemburuan pun merebak di kalangan mereka sehingga mereka mengutus Ummu Salamah untuk menyampaikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam agar mengatakan kepada manusia, siapapun yang ingin memberikan hadiah hendaknya memberikan di mana pun beliau berada saat itu.

Ummu Salamah radhiyallahu 'anha pun mengungkapkan hal itu saat beliau berada di sisinya, namun beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Diulanginya permintaan itu setiap kali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam datang kepadanya, dan beliau pun tetap tidak memberikan jawaban. Pada kali yang ketiga Ummu Salamah radhiyallahu 'anha mengatakannya, beliau menjawab: "Janganlah engkau menggangguku dalam permasalahan Aisyah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu dalam keadaan diriku di dalam selimut salah seorang pun dari kalian kecuali Aisyah."

Kemuliaan demi kemuliaan diraihnya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dari banyak peristiwa yang dialaminya, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat-ayat-Nya. Suatu ketika, Aisyah turut dalam perjalanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rombongan itu pun singgah di suatu tempat. Tiba-tiba Aisyah radhiyallahu 'anha merasa kalungnya hilang, sementara kalung itu dipinjamnya dari Asma', kakaknya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun memerintahkan para sahabat yang turut dalam rombongan itu untuk mencarinya. Terus berlangsung pencarian itu hingga masuk waktu shalat. Akan tetapi ternyata tak ada air ditempat itu sehingga para sahabat pun shalat tanpa wudhu. Tatkala bertemu dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka mengeluhkan hal ini kepada beliau. Saat itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat-Nya tentang tayammum.

Melihat kejadian ini, Usaid bin Hudhair radhiyallahu 'anhu mengatakan kepada Aisyah, "Semoga Allah memberikan balasan kepadamu berupa kebaikan. Demi Allah, tidak pernah sama sekali terjadi sesuatu padamu kecuali Allah jadikan jalan keluar bagimu dari permasalahan itu, dan Allah jadikan barakah di dalamnya bagi seluruh kaum muslimin."

Satu peristiwa penting tercatat dalam kehidupan Aisyah. Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan kesucian dirinya. Berawal dari kepulangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari pertempuran Bani Musthaliq yang Aisyah radhiyallahu 'anha turut dalam rombongan itu. Di tengah perjalanan, ketika rombongan tengah beristirahat, Aisyah radhiyallahu 'anha pergi untuk menunaikan hajatnya. Namun ia kehilangan kalungnya sehingga kembali lagi untuk mencarinya. Berangkatlah rombongan dan Aisyah tertinggal tanpa disadari oleh seorang pun. Aisyah menunggu di tempatnya semula dengan harapan rombongan itu kembali hingga ia tertidur.

Saat itu muncullah Shafwam ibnul Mu'atthal radhiyallahu 'anhu yang tertinggal dari rombongan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Melihat Aisyah, dia pun beristirja'* dan Aisyah terbangun mendengar ucapannya. Tanpa mengatakan sesuatu pun dia persilakan Aisyah radhiyallahu 'anha untuk naik kendaraannya dan dituntunnya hingga bertemu rombongan.

Kaum munafikin yang ditokohi oleh Abdullah bin Ubay bin Salul menghembuskan berita bohong tentang Aisyah radhiyallahu 'anha. Berita itu terus beredar dan mengguncangkan kaum muslimin, termasuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sedang Aisyah sendiri tidak mendengarnya karena dia langsung jatuh sakit selama sebulan setelah kepulangannya itu. Hanya saja ia merasa heran karena tidak menemukan sentuhan kelembutan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selama sakitnya sebagaimana biasa bila dia sakit.

Akhirnya berita bohong itu pun sampai kepada Aisyah melalui Ummu Misthah radhiyallahu 'anha. Aisyah pun menangis sejadi-jadinya dan meminta ijin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk tinggal sementara waktu dengan orang tuanya. Beliau pun mengizinkan.

Sementara itu, wahyu yang memutuskan perkara itu belum juga turun sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta pendapat Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma dalam urusan ini. Beliau pun menemui Aisyah radhiyallahu 'anha, mengharap kejelasan dari peristiwa ini.

Di puncak kegalauan itu, dari atas langit Allah menurunkan ayat-ayat-Nya yang membebaskan Aisyah radhiyallahu 'anha dari segala tuduhan yang disebarkan oleh orang-orang munafik. Aisyah radhiyallahu 'anha, wanita mulia yang mendapatkan pembebasan Allah Subhanahu wa Ta'ala dari atas langit.

Dia melukiskan keadaannya pada waktu itu, "Demi Allah, saat itu aku tahu bahwa diriku terbebas dari segala tuduhan itu dan Allah akan membebaskan aku darinya. Namun demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu yang dibaca dalam permasalahanku, dan aku merasa terlalu rendah untuk dibicarakan Allah di dalam ayat yang dibaca. Aku hanya berharap, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan melihat mimpi yang dengannya Allah membebaskan diriku dari tuduhan itu." Ayat-ayat itu terus terbaca oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat di dalam Surat An Nuur ayat 11 beserta sembilan ayat berikutnya.

Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hingga tiba saatnya beliau kembali ke hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Delapan belas tahun usianya, saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat dipangkuannya setelah hari-hari terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat ditempatnya. Beliau pun dikuburkan di kamar Aisyah radhiyallahu 'anha.

Sepeninggal beliau, Aisyah radhiyallahu 'anha menyebarkan ilmu yang dia dapatkan dalam rumah tangga nubuwah. Riwayatnya banyak diambil oleh para sahabat yang lain dan tercatat dalam kitab-kitab. Dia menjadi seorang pengajar bagi seluruh kaum muslimin.

Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan, "Keutamaan Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid** atas seluruh makanan." Bahkan Jibril 'alaihis salam menyampaikan salam padanya melalui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Tiba waktunya Aisyah radhiyallahu 'anhu kembali kepada Rabb-Nya. Wanita mulia ini wafat pada tahun 57 Hijriyah dan dikuburkan di pekuburan Baqi'. Ilmunya, kisah hidupnya, keharuman namanya tak pernah sirna dari goresan tinta para penuntut ilmu. Semoga Allah meridhainya.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Sumber bacaan:
1. Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Al Hafidz Ibnu Al 'Asqalani
2. Syarh Shahih Muslim, Al Imam An Nawawi
3. Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, Al Imam Ibnu Hajar Al 'Asqalani
4. Siyar A'lamin Nubala', Al Imam Adz Dzahabi
5. Shahih As Sirah An Nabawiyah, Asy Syaikh Ibrahim Al 'Aly

Footnote:
* Istirja' adalah ucapan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.
** Tsarid adalah makanan dari adonan tepung dicampur kuah daging, terkadang disertakan pula dagingnya.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 50-52.