23 November 2009

MENJAGA DIRI DARI PERKARA SYUBHAT

RASULULLAH shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara samar (syubhat/tidak jelas halal haramnya) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Maka siapa yang berhati-hati dari perkara samar (syubhat) ini bearti ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh dalam perkara syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman, seperti seorang penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir ia melanggar daerah larangan tersebut..." (HR. Bukhari no. 52, 2051 dan Muslim 1599 dari shahabat An Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhu)

Ibnu Daqiqil Ied berkata: "Ulama berselisih tentang syubhat yang disebutkan di atas. Kelompok pertama mengatakan syubhat ini haram berdasarkan sabdanya: "berarti ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya". Sehingga siapa yang tidak menjaga agamanya dan kehormatannya maka berarti ia jatuh dalam keharaman.

Kelompok yang kedua mengatakan syubhat ini halal dengan dalil sabda beliau: "seperti seorang penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir ia melanggar daerah larangan tersebut".

Namun meninggalkan perkara syubhat tersebut walaupun halal termasuk sikap wara' (kehati-hatian agar tidak jatuh dalam keharaman).

Kelompok yang ketiga mengatakan: Syubhat yang dinyatakan dalam hadits ini tidak bisa kita katakan halal atau haram karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sendiri menempatkannya antara halal dan haram, maka sepantasnya kita berdiam diri terhadap perkara syubhat tersebut dan hal ini juga merupakan sikap wara'. (Syarhul Arbain/27)

Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Dan siapa yang jatuh dalam perkara syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman...", ditafsirkan dengan dua makna oleh ulama:
Pertama: seseorang melakukan perkara syubhat disertai pengetahuannya hal itu adalah syubhat. Sikap bermudah-mudahnya ini akan membawa dia untuk berani melakukan perkara yang haram.
Kedua: seseorang yang berani dan sering melakukan perkara syubhat dalam keadaan ia tidak tahu apakah perkara itu halal ataukah haram, yang demikian ini akan gelap hatinya karena telah hilang darinya cahaya ilmu dan wara'. Orang seperti ini tidak aman untuk jatuh dalam perkara yang diharamkan. (Jami'ul Ulum, 1/203-204 dan Syarhul Arbain, 29-30)

Dengan demikian orang yang berhati-hati dari syubhat berarti ia telah menyelamatkan agamanya dari kekurangan dan menyelamatkan kehormatannya dari celaan, karena orang yang dikenal suka mendatangi syubhat ia tidak akan selamat dari celaan orang lain. Sehingga yang namanya syubhat sepantasnya kita jauhi, karena bila ternyata perkara itu haram maka kita telah melepaskan diri kita dari melakukan perkara tersebut, namun bila ternyata perkara itu halal maka dengan kehendak Allah kita akan diberi pahala karena kita meninggalkan syubhat dalam rangka wara'. (Fathul Bari 1/159, 4/356, Syarah Al Imam As Sindi terhadap Sunan Ibnu Majah)
Wallahul musta'an.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 34 dan 37)