22 November 2009

CARA MEMBERSIHKAN NAJIS (2)

(baca yang sebelumnya)

3. Wadiy

Pembersihannya hanya dengan mencuci kemaluan dengan air seperti halnya bersuci dari kencing dan buang air besar.

4. Madzi

Ketika Ali radhiyallahu 'anhu menyuruh seorang shahabat, Miqdad ibnul Aswad, menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang tata caqa membersihkan madzi yang mengenai kemaluan. Beliau menjawab:
"Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu." (HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan bila keluar madzi. Yang dimaksud mencuci disini menurut pendapat Imam Syafi'i dan jumhur ulama adalah mencuci bagian yang terkena madzi saja (dari kemaluan dan anggota badan lainnya yang terkena) tidak perlu mencuci seluruh kemaluan. (Syarah Muslim, 3/213)

Ibnu Hazm berkata: "Mewajibkan pencucian kemaluan secara keseluruhan adalah pensyariatan yang tidak ada dalil padanya." (Al Muhalla, 1/107)

5. Darah Haid yang Mengenai Pakaian

Asma' bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhuma menceritakan:
"Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: 'Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya dia mengeriknya lalu membasuhnya, kemudian ia boleh shalat memakai pakaian tersebut'." (HR. Bukhari no. 227, 307 dan Muslim no. 291)

Imam Shan'ani mengatakan: "Wajib untuk mencuci pakaian yang terkena darah haid dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkan bekasnya berdasarkan apa yang disebutkan dalam hadits dengan dikerik memakai jari, dikucek dengan air dan dicuci untuk menghilangkan bekas darah tersebut. Dan dzahir hadits menunjukkan tidak wajibnya melakukan selain hal tersebut. Kalau masih terlihat bekas darah maka tidak wajib menggosoknya dengan menggunakan benda yang keras/kesat karena tidak disebutkan hal demikian dalam hadits Asma' radhiyallahu 'anha sementara hadits ini merupakan tempat keterangan dan juga karena datang riwayat pada selain hadits ini dengan lafadz: "Tidak bermasalah bagimu bekas darah tersebut (setelah berusaha menghilangkannya dengan tata cara yang disebutkan)". (Subulus Salam, 1/60)

Disenangi mencuci darah haid yang terkena pada pakaian dengan menggunakan air dan daun bidara* serta dikerik dengan ranting karena hal ini bisa menghilangkan bekas darah dari pakaian tersebut daripada sekedar dicuci dengan air saja**. Demikian dikatakan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/141) dengan membawakan hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang darah haid yang mengenai pakaian. Sedangkan hadits Ummu Qais ini dikatakan oleh Ibnul Qaththan: "Sanadnya benar-benar shahih dan saya tidak mengetahui padanya ada cacat." (Talkhis Habir, 1/52)

6. Kulit Bangkai

Bangkai hewan termasuk perkara najis, demikian pula kulitnya. Oleh karena itu bila kulit bangkai itu hendak dimanfaatkan harus disucikan terlebih dahulu dengan cara disamak.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya." (HR. Muslim no. 366)

Yang dimaksuk dengan menyamak adalah menghilangkan bau busuk dan lendir (cairan) yang najis dengan menggunakan benda-benda atau obat-obatan tertentu dan selainnya. Kata Ibrahim An Nakha'i: "Penyamakan adalah segala sesuatu yang mencegah rusaknya kulit." (Tuhfatul Ahwadzi, 5/327)

Berkata Syaikh Abul Qasim sebagaimana dinukil dalam Al Muntaqa Syarah Muwththa Imam Malik: "Kulit bangkai sebelum disamak itu najis namun setelah disamak menjadi suci dengan kesucian yang khusus."

Dengan penyamakan ini kulit tersebut menjadi suci, luar dan dalamnya, sama saja apakah kulit itu berasal dari hewan yang dimakan dagingnya ataupun tidak. Setelah kulit disamak boleh dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan benda-benda yang kering dan yang cair. (Tuhfatul Ahwadzi, 5/327)

7. Air Liur Anjing pada Bejana

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia mencuci bejana tadi sebanyak tujuh kali." (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan: "cucian yang pertama dicampur dengan tanah."

Sementara di sana ada riwayat-riwayat lainnya, karena riwayat ini lebih kuat dari sisi banyaknya, lebih terjaga dari keganjilan dalam periwayatannya dan juga lebih kuat dari sisi makna, demikian kata Al Hafidz Ibnu Hajar. (Fathul Bari, 1/346)

Imam Shan'ani mengatakan: "Riwayat yang menyebutkan pencucian pertama dengan tanah lebih kuat karena banyak yang meriwayatkannya, juga karena dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. Yang demikian ini dipakai ketika mentarjih (menguatkan) riwayat-riwayat yang berselisih." (Subulus Salam, 1/39)

Dan pencucian sebanyak tujuh kali ini hukumnya wajib, demikian pendapat Syafi'i, Ahmad dan jumhur ulama. (Aunul Ma'bud, 1/94)

Pembersihan jilatan anjing ini bisa dengan cara menuangkan air ke atas tanah atau menuangkan tanah di atas air atau bisa pula dengan cara mengambil tanah yang telah bercampur dengan air lalu digunakan untuk mencuci bejana tersebut. Adapun sekedar mengusap bekas najis dengan tanah maka tidaklah mencukupi. (Taisirul 'Allam, 1/35)

Mungkin muncul pertanyaan, apakah tanah bisa digantikan oleh pembersih yang lain seperti sabun/deterjen? Perkara ini diperselisihkan oleh ulama, namun yang kuat adalah tanah tidak bisa digantikan oleh yang lain.

Karena apabika telah datang nash yang menunjukkan terhadap makna tertentu dan dimungkinkan makna yang khusus terhadap makna tertentu tersebut maka tidak boleh mengesampingkan ataupun membuang nash tersebut. Demikian dinyatakan oleh Al Imam Ibnu Daqiqil Ied dalam Ihkamul Ahkam, 1/31.
Wallahu a'lam bish-shawab.

Catatan kaki:
*) Bisa juga memakai sabun dan sejenisnya.
**) Namun kalaupun masih membekas maka tidak bermasalah bekas tersebut dengan keterangan Imam Shan'ani di atas.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 28-31.