27 November 2009

TUNTUNAN SYARIAT MENYAMBUT KELAHIRAN ANA

LAHIRNYA seorang bayi merupakan awal dari kehidupannya di dunia. Dia mulai merasakan aktifitas hidup di dunia ini. Tentunya tak patut ayah dan ibu yang menginginkan buah hatinya menjadi anak yang shalih membiarkan hari-hari pertamanya berjalan tanpa dihiasi tuntunan syariat yang mulia ini, bahkan dikotori oleh hal-hal yang tidak diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam.

Banyak hal dipandang oleh masyarakat sebagai adat untuk menyambut kelahiran seorang bayi. Ada yang memasang lentera di kuburan ari-ari (plasenta) bayi, ada yang memasang gunting atau senjata tajam lain di dekat kepala bayi, ada yang meletakkan rangkaian bawang dan cabai merah di atas kepala bayi, ada pula yang memasang gelang dari benang untuk penangkal bala' bagi si bayi. Bahkan sebagian orang meyakini, kalau hal itu tidak dilakukan, maka keselamatan si jabang bayi pun terancam. Kalau sudah begini, dikhawatirkan kesyirikan akan masuk tanpa terhindarkan.

Sebenarnya apa yang harus dilakukan pada hari-hari pertama setelah kelahiran telah diajarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Melalui perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kita bisa melihat dengan jelas penetapan syariat dalam hal ini. Kita simak, apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam terhadap seorang bayi yang baru saja lahir, sebagaimana penuturan istri beliau, Aisyah bintu Abi Bakr Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha:
"Apabila didatangkan bayi yang baru lahir ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau mendoakan barakah kepadanya dan mentahniknya." (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5468 dan Imam Muslim no. 2147)

Tahnik adalah mengunyah kurma sampai lumat hingga bisa ditelan, kemudian menyuapkannya ke mulut bayi. Apabila tidak didapatkan kurma, maka diganti dengan makanan manis lain yang bisa digunakan untuk mentahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab (disenangi) melakukan tahnik pada hari kelahiran anak. Demikian dijelaskan oleh Imam An Nawawi rahimahullah ketika menerangkan tahnik ini.

Gambaran perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini bisa kita lihat dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu:
"Aku membawa Abdullah bin Abi Thalhah al Anshari kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada hari kelahirannya, dan waktu itu beliau menggunakan mantelnya sedang mengecat untanya dengan ter. Lalu beliau bertanya: "Apakah engkau membawa kurma?" Aku menjawab: "Ya." Kemudian kuberikan pada beliau beberapa buah kurma, lalu beliau masukkan ke mulut dan mengunyahnya. Kemudian beliau membuka mulut bayi dan meludahkan kurma itu ke mulut bayi. Mulailah bayi itu menggerak-gerakkan lidahnya untuk merasakan kurma tersebut. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kesukaan Anshar adalah kurma." dan beliau memberinya nama Abdullah." (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5470 dan Imam Muslim no. 2144)

Hadits Anas bin Malik di atas juga memberikan penjelasan kepada kita bahwa tahnik dilakukan dengan menggunakan kurma, dan ini yang disenangi. Apabila dilakukan dengan selain kurma, maka tahnik itu pun telah terlaksana, namun kurma lebih utama. Dari sini pula kita memetik faidah bahwa tahnik dilakukan oleh orang yang shalih, baik laki-laki ataupun perempuan. (Syarh Shahih Muslim)

Begitu pula bisa kita simak kisah-kisah tentang pelaksanaan tahnik yang datang dari sahabat-sahabat yang lainnya. Abu Musa Al Asy'ari radhiyallahu 'anhu menceritakan:
Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma. (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5467 dan Imam Muslim no. 2145)

Asma' bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhuma mengisahkan ketika dia mengandung anaknya, Abdullah ibnu Az Zubair di Mekkah:
"Dia mengatakan: Aku keluar (untuk hijrah), sementara telah dekat waktuku melahirkan. Maka aku pergi ke Madinah dan aku singgah di Quba', serta melahirkan di sana. Kemudian aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau meletakkan anakku dipangkuannya. Kemudian beliau meminta kurma, dan mengunyahnya lalu meludahkannya ke dalam mulut anakku. Maka yang pertama kali masuk ke perutnya adalah ludah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau mentahniknya dengan kurma, kemudian mendoakannya dan memintakan barakah baginya. Dan dia adalah bayi pertama yang dilahirkan dalam Islam (dari kalangan Muhajirin)." (Shahih, HR. Imam Bukhari no. 5469 dan Imam Muslim no. 2146)

Kisah Asma' radhiyallahu 'anha ini memberikan faidah kepada kita tentang disenanginya mendoakan bayi yang dilahirkan ketika tahnik. (Syarah Shahih Muslim)

Tak luput dari perhatian kita, semua yang kita simak dari Anas bin Malik, Abu Musa Al Asy'ari serta Asma' bintu Abi Bakr radhiyallahu 'anhum di atas menunjukkan bolehnya memberi nama anak pada hari kelahirannya. Ini pun diperkuat oleh penuturan sahabat yang mulia, Sahl bin Sa'd radhiyallahu 'anhu:
"Didatangkan Al Mundzir putra Abu Usaid ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika dia dilahirkan. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meletakkannya di atas pangkuannya, sedangkan Abu Usaid duduk. Pada waktu itu Rasulullah sedang sibuk sehingga Abu Usaid memerintahkan agar anaknya dibawa kembakli, maka anak itu diangkat dari pangkuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mereka pun mengembalikannya pada Abu Usaid. Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai dari kesibukannya, beliau bertanya, "Di mana bayi tadi?" Abu Usaid pun menjawab: "Kami membawanya kembali, ya Rasulullah!" Lalu beliau bertanya, "Siapa namanya?" Jawab Abu Usaid: "Fulan, ya Rasulullah!" Beliau pun bersabda, "Tidak, akan tetapi namanya Al Mundzir." Kemudian pada hari itu beliau memberinya nama Al Mundzir. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 2149)

Inilah tuntunan syariat bagi setiap orang tua yang mengharap kebaikan bagi anaknya. Tak layak semua ini dilewatkan begitu saja, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 47-49.