19 November 2009

PRINSIP-PRINSIP MENGKAJI AGAMA (1)

MENUNTUT ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!

Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan.

Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:
"Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj." (Al Maidah: 48)

Kata 'minhaj' sama dengan kata 'manhaj'. Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu'jamul Wasith)

Yang diinginkan dalam pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:

1. Mengambil Ilmu Agama dari Sumber Aslinya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya." (Al A'raf: 3)

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur'an dan yang serupa dengannya bersamanya." (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma'di Karib. Lihat Shahihul Jami' no. 2643)

2. Memahami Al Qur'an dan As Sunnah Sesuai dengan Pemahaman Salafus Shalih.
Yakni para shahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka." (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim)

Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.

Ibnul Qayyim berkata: "Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak." (Lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)

Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam itu tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar mereka.

Imam Syafi'i mengatakan: "Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara' (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a'lam- ...Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan." (Al Madhkhal Ilas Sunan Al Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78)

Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: "Ilmu itu empat macam: pertama, apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya. Kedua, apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya. Ketiga, apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka... Keempat, apa yang dianggap baik oleh ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini." (Intishar li Ahlil Hadits: 31)

Oleh karenanya Ibnu Taimiyah berkata: "Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah." Imam Ahmad mengatakan: "Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya." (Majmu' Fatawa: 21/291)

Hal itu -wallahu a'lam- karena Nabi bersabda:
"Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan." (Hasan, HR. Abu Dawud no. 4253, Ibnu Majah: 395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka'b bin Ashin no. 82, 83 dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah As Shahihah: 1331)

Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.

3. Tidak Melakukan Taqlid atau Ta'ashub (fanatik) Madzhab.
Allah berfirman:
"Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti para pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran (darinya)." (Al A'raf: 3)
"Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah. Bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (Al Hasyr: 7)

Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur'an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi'i mengatakan: "Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia." (Sifat Shalat Nabi: 50)

Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu mari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: "Sesungguhnya tidak seorangpun dari Ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza'i, Al Laits bin Sa'ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihad yang setelah mereka mengatakan pendapat yang menyelisihi pendapat imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil." (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna': 95)

Sebaliknya, ta'ashub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: "Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain)."

Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta'ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi'i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam. (Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal. 68 edisi bahasa Arab)

4. Waspada dari Para Da'i Jahat.
Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:
"Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah." (Ali Imran: 7)

Ibnu Katsir mengatakan: "Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur'an untuk (membela) bid'ah mereka padahal Al Qur'an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan." (Tafsir Ibnu Katsir 1/353)
(baca kelanjutannya)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 10-12.