03 November 2009

HUKUM MENUNTUT ILMU

NABI shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim." (Shahih, HR. Baihaqi dan lainnya dari Anas dan lainnya. Dishahihkan Al Albani, lihat Shahihul Jami' no. 3913)
Ishaq bin Rahwiyah berkata: "Maknanya wajib menuntut ilmu pada apa yang dibutuhkan: dari wudhunya, shalatnya, zakatnya jika dia punya harta, begitu pula haji dan lainnya." (Jami' Bayanil Ilmi: 1/52)

Kewajiban menuntut ilmu bisa menjadi wajib kifayah jika ada sekelompok orang yang telah mempelajarinya, dan kewajiban itu gugur bagi yang lainnya. Namun bisa juga wajib 'ain yakni setiap orang dari kaum muslimin harus mempelajarinya, sebagaimana diterangkan Ibnu Abdil Bar: "Ulama telah ber-ijma' bahwa di antara ilmu itu ada yang fardhu 'ain, wajib atas setiap.orang pada dirinya. Dan ada yang fardhu kifayah, jika ada yang telah melakukannya maka gugur kewajiban itu bagi yang lain di daerah itu." (Jami Bayanil Ilmi: 1/56-57)

Untuk mengetahui mana yang wajib 'ain dan mana yang wajib kifayah, maka perlu melihat penjelasan para ulama berikut ini:

Ibnu Utsaimin menjelaskan: "Menuntut ilmu syariat adalah fardhu kifayah jika sebagian orang dalam jumlah cukup telah melakukannya. Maka bagi yang lain hukumnya sunnah... Dan bisa jadi fardhu 'ain atas seseorang... patokannya adalah: ketika pengetahuan tentang seluk beluk ibadah atau muamalah yang akan segera dilakukan itu tergantung padanya (maka itu fardhu 'ain untuk dipelajari, red)." (Lihat Kitabul Ilmi: 21-22)

Menurut Imam Ahmad rahimahullah, ilmu yang wajib ('ain, red) untuk dituntut adalah yang akan menegakkan agama seseorang, dan tidak boleh ia menyepelekannya. Beliau lalu ditanya: Seluruh ilmu itukan menegakkan agama? Beliau menjawab: Yakni kewajiban yang wajib atas dirinya maka wajib ia menuntutnya. Beliau ditanya: Seperti apa? Jawabnya: yaitu yang ia tidak boleh bodoh dalam urusan shalatnya, puasanya dan sejenisnya. (Hasyiyah Ushul Ats Tsalatsah: 10 dan Adab Syar'iyyah: 2/35)

Syaikh Abdurrahman An Najdy rahimahullah mengomentari ucapan Imam Ahmad tersebut, katanya: "Berarti yang wajib atas manusia untuk mengamalkannya adalah dasar-dasar iman, syariat-syariat Islam, perkara yang wajib ditinggalkan dari hal-hal yang haram, lalu yang dibutuhkan dari muamalat dan yang lainnya. Sesuatu yang wajib itu tidak sempurna kecuali dengannya, maka hal itu wajib atasnya untuk dipelajari." (Hasyiyah Ushul Ats Tsalatsah: 10)

Adapun yang fardhu kifayah, para ulama juga telah menjelaskannya, sebagaimana telah diterangkan Syaikh Abdurrahman An Najdy. Katanya: "Lain halnya dengan sesuatu yang lebih dari itu (yakni yang fardhu 'ain) maka itu termasuk fardhu kifayah jika orang dalam jumlah memadai telah mempelajarinya. Maka dosa (tidak mempelajarinya) gugur bagi yang lain". (Hasyiyah Ushul Ats Tsalatsah: 10)

Namun demikian, ada hal-hal yang menjadikan menuntut ilmu itu semakin ditekankan. Dijelaskan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah: "Kemudian di sana ada tiga hal yang dengannya tuntutan menuntut ilmu semakin kuat atas manusia:
1. Adanya bid'ah yang muncul. Hasan bin Tsawab berkata Ahmad bin Hanbal mengatakan kepadaku: Aku tak tahu sebuah zaman yang manusia lebih membutuhkan mencari hadits dari zaman ini. Maka saya katakan: Mengapa? Katanya: Karena telah muncul bid'ah sehingga orang yang tidak punya hadits, akan terjatuh padanya. (Adab Syar'iyyah: 2/38, red)
2. Adanya orang-orang yang berani berfatwa tanpa ilmu.
3. Banyak orang yang berdebat pada masalah yang bisa jadi sudah jelas permasalahannya menurut para ulama, tapi masih ada saja yang berdebat tentangnya dan tanpa ilmu. (Lihat Kitabul Ilmi: 21-22)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 02/I/Rabi'ul Awwal/1424 H/Mei 2003, hal. 11-12.