19 November 2009

MEWASPADAI PENYERU KEBINASAAN

JALAN-JALAN kesesatan jumlahnya sangat banyak dan bentuknya pun macam-macam. Demikian banyaknya sampai masyarakat sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Salah satunya adalah ilmu filsafat.

Oleh karenanya, di sini perlu dijelaskan jenis-jenis manusia yang harus diwaspadai ketika kita hendak mengambil ilmu, sebagaimana disebutkan oleh para ulama. Di antara mereka adalah:

1. Ashabur Ra'yi
Yaitu orang-orang yang memahami agama dengan rasio mereka. Termasuk di sini adalah orang-orang yang menafsirkan ayata atau hadits dari akal mereka sendiri tanpa merujuk kepada tafsir ulama. Umar bin Khaththab mengatakan: "Jauhi oleh kalian Ashabur Ra'yi, mereka adalah para musuh Sunnah. Hadits-hadits Nabi tidak mampu mereka hafalkan, akhirnya mereka mengatakan dengan akal sehingga sesat dan menyesatkan." (Al Intishar li Ahlil Hadits no. 21)

2. Al Ashaghir
Yaitu orang-orang kecil. Nabi bersabda:
"Di antara tanda hari kiamat ada tiga, salah satunya adalah dituntutnya ilmu dari Al Ashagir." (Shahih atau hasan, HR. Ibnu Abdil Bar dalam Jami' Bayan Ilm hal. 612 tahqiq Abul Asybal dan dihasankannya, dishahihkan oleh Asy Syaikh Salim Al Hilaly dalam Bashair Dzawis Syaraf: 41)

Abdullah bin Mas'ud mengatakan, jika ilmu datang dari Al Ashaghir maka mereka akan binasa. (Jami' Bayanul Ilm hal. 616) Abdullah bin Al Mubarak ditanya tentang makna Al Ashaghir, katanya yaitu orang yang berpendapat (dalam masalah agama) dengan pendapat mereka sendiri... yakni ahlul bid'ah. (Jami' Bayanul Ilm: 612) Karena memang ahlul bid'ah kecil dalam hal ilmu.

Sebagian ulama yang lain mengatakan yang dimaksud dengannya adalah yang tidak punya ilmu. (Jami' Bayanul Ilm: 617) Yang lain lagi mengatakan: "Bisa jadi yang dimaksud adalah orang yang tidak terhormat, dan hal itu tidak terjadi kecuali karena ia membuang agama dan kehormatannya, adapun yang selalu menjaga keduanya pasti dia akan terhormat." (Al I'tisham: 2/682)

3. Ahlul Bid'ah
Seseorang bisa dikatakan sebagai ahli bid'ah jika ia menyelisihi hal-hal yang telah disepakati oleh Ahlussunnah wal Jama'ah (Al Farqu Bainal Firaq: 14-15). Ibnu Taimiyah menjelaskan, bid'ah yang dengannya seseorang bisa dianggap sebagai ahlul ahwa (ahlul bid'ah) adalah sebuah bid'ah yang telah masyhur di kalangan Ahlul Ilmu dan Ahlussunnah bahwa hal itu menyelisihi Kitab dan Sunnah seperti bid'ahnya Khawarij, Syi'ah, Qadariyyah, dan Murji'ah. (Majmu' Fatawa: 35/414 dari Mauqif Ahlussunnah: 1/119). Maka jika kita ketahui bahwa seseorang memiliki keyakinan yang masyhur dan jelas menyelisihi Kitab dan Sunnah menurut pandangan ulama Ahlussunnah atau menyelisihi sesuatu yang telah disepakati oleh Ahlussunnah, maka ia tergolong ahlul bid'ah.

Contoh yang paling jelas dalam hal ini seperti pribadi/kelompok yang memiliki pemahaman mengkafirkan mayoritas kaum muslimin, menolak hadits-hadits ahad (bukan mutawatir) dalam hal akidah, mencela sebagian shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, meremehkan masalah tauhid, menolak sifat-sifat Allah, mengatakan Al Qur'an bukan Kalamullah, dan menafikan takdir.

Seseorang yang mencari ilmu agama harus hati-hati dari orang yang semacam ini. Allah berfirman:
"Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain." (Al An'am: 153)

Seorang tabi'in bernama Mujahid menafsiri ayat ini, katanya: "(yang dimaksud adalah) bid'ah dan syubhat-syubhat." (Al Bid'ah, Dhowabituha... hal. 12)

Imam Malik mengatakan: "Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang -di antaranya- : seorang ahli bid'ah yang mengajak kepada bid'ahnya." (Jami' Bayanul Ilm: 821) dan banyak lagi dalil atau ucapan salaf di dalam hal ini.

4. Ahli Filsafat
Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang berusaha memahami perkara-perkara agama melalui teori-teori filsafat yang berasal dari Yunani yang mereka namakan dengan 'Ushuluddin'.

Masalah penimbangan amal di akhirat kelak, misalnya. Menurut mereka -dengan teori filsafat-, amal bukanlah dzat yang berujud sehingga tidak bisa ditimbang. Walhasil dengan pemahaman ini, mereka mengingkari nash-nash tentang timbangan amal. Padahal menurut pemahaman yang benar, kita wajib meyakininya karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Memahami agama melalui teori atau kaidah filsafat jika kebetulan sesuai dengan kebenaran maka tidak akan menyampaikan kepada kemantapan dalam berakidah, karena akan selalu tergoyah dengan teori yang lainnya yang menurut orang lain atau menurut dia sendiri di waktu lain lebih kuat.

Sampai-sampai salah seorang dari mereka mengatakan: "Aku berbaring di atas tempat tidurku dan aku tutupkan selimut di atas wajahku lalu kuadu antara dalil-dalil mereka (ahli filsafat), sampai terbit fajar dan saya tidak mendapatkan mana yang lebih kuat." (Syarah Aqidah Thahawiyah: 209) Oleh karenanya para ulama Ahlussunnah dari dulu sampai sekarang sangat keras melarang 'ilmu' ini dan mewaspadai orang-orangnya. Sampai-sampai, hampir tidak satu kitab pun dari kitab-kitab Ahlussunnah yang membahas akidah kecuali mencela filsafat. Bahkan tidak sedikit mereka yang menulis buku secara khusus mengingatkan umat tentang bahayanya filsafat.

Abu Yusuf, murid Abu Hanifah mengatakan: "Barangsiapa yang mencari ilmu agama dengan 'ilmu' kalam (filsafat), ia akan menjadi zindiq (orang yang menyembunyikan kekafiran)." (Syarh Aqidah Thahawiyah: 209) Adz Dzahabi mengatakan: "Barangsiapa yang ingin menggabung antara ilmu para Nabi 'Alaihisshalatu was Salam dan 'ilmu' para filosof dengan kepandaiannya, maka ia pasti menyelisihi mereka semuanya." (Mizanul I'tidal 3/144 dari Al Intishar: 97)

Oleh karenanya para tokoh filsafat dari muslimin menyesali tenggelamnya mereka ke dalam 'ilmu' filsafat seperti Al Ghazali, Ar Razi, As Syihristani, Al Juwaini dan yang lain. Sebetulnya penyesalan mereka itu cukup sebagai pelajaran bagi yang menginginkan keselamatan akidahnya, dan -demi Allah- cukup baginya merenungi dan mentadabburi firman Allah:
"Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya kami telah menurunkan kepadamu Al Qur'an yang dibacakan kepada mereka, sesungguhnya di dalamnya terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman." (Al Ankabut: 51)
"Katakanlah wahai Muhammad: Sesungguhnya aku hanya memperingatkan kalian dengan wahyu." (Al Anbiya: 45)

Jalan para Rasul adalah wahyu bukan filsafat!

5. Orang-orang yang Memiliki Sifat-sifat Berikut:
Tidak ikhlas dalam berilmu tapi mengharapkan harta duniawi, kedudukan atau jabatan dengan ilmunya, yang mencampur antara kebenaran dan kebatilan, dan yang tidak mengamalkan ilmunya. Karena ini adalah sifat-sifat ulama Yahudi sehingga jika ada ulama muslim yang semacam itu berarti ia menyerupai Yahudi dan termasuk ulama yang jelek (Syarh Ushul Sittah - Al Ubailan: 16). Ibnu Qudamah berkata: "Ulama yang jelek adalah yang punya maksud dengan ilmunya untuk bernikmat-nikmat dengan dunia dan mencapai kedudukan di sisi ahli dunia." (Mukhtashar Minhajul Qasidin: 35)

6. Para Pengikut Aliran Tarekat Sufi
Yakni mereka yang meyakini bahwa Allah tidak di atas langit tapi di mana-mana, atau bersatu dengan para wali, memiliki amal-amalan dzikir yang caranya mereka buat sendiri dan bukan berasal dari ajaran Nabi. Ini sesungguhnya termasuk ahlul bid'ah.

7. Orang-orang yang Mengaku Muslim tapi Terpengaruh Paham-paham Sosialis, Sekularis, Materialis atau Sejenisnya.
Atau orang-orang kafir orientalis misalnya. Semua itu mesti kita hindari, dan hal ini sebetulnya jelas, namun kita sebutkan karena adanya sebagian muslimin yang lengah dalam masalah ini atau menyepelekannya sehingga belajar ilmu agama Islam dari mereka. Bahkan yang sangat disayangkan ada pula yang berbangga dengan guru-guru yang semacam itu. Padahal dalam pepatah Arab disebut, "orang yang tidak punya tidak bisa memberi."

Akibat buruk yang nyata dari perbuatan ini adalah munculnya orang-orang yang phobi terhadap Islam seperti gerakan JIL (Jaringan Islam Liberal) misalnya. Mereka sesungguhnya tidak menyebarkan Islam tapi justru meruntuhkan Islam dan membikin keraguan terhadap agama Islam dan ajaran-ajarannya.

Semoga Allah memusnahkan atau mempersedikit orang-orang semacam ini, dan sebaliknya memperbanyak ahlul haq dan melindungi kaum muslimin dari fitnah-fitnah yang menyesatkan.
Wallahu a'lam bish-shawab.


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 15, 16, 17.