22 November 2009

CARA MEMBERSIHKAN NAJIS (1)

MEMBERSIHKAN najis
merupakan perkara yang disyariatkan dengan kesepakatan ulama. Namun sangat disayangkan, banyak orang yang tidak mengetahuinya. Padahal perkara ini sangat penting baginya, khususnya berkaitan dengan masalah ibadah yang hendak dia tunaikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti shalatnya ataupun ibadah lainnya.

Membersihkan najis ternyata tidak sulit bila tahu ilmunya. Karenanya kita mesti tahu tata cara membersihkan najis seperti yang dituntunkan syariat. Supaya kita tidak berlebih-lebihan dalam membersihkan najis tersebut dan tidak pula meremehkannya.

Asal pembersihan terhadap perkara najis adalah dengan menggunakan air. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dia menurunkan kepada kalian air dari langit (hujan) agar Dia mensucikan kalian dengannya..." (Al Anfal: 11)
"Dan Kami menurunkan air dari langit sebagai pensuci." ( Al Furqan: 48)

Pembersihan najis dengan air ini dapat berpindah kepada sarana lain, seperti hadits Abu Said Al Khudri yang menyebutkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang pembersihan najis pada sandal dengan digosokkan ke tanah atau hadits tentang istijmar (bersuci dengan menggunakan batu). Oleh karena itu, kita lihat pembersihan beberapa perkara najis yang datang penjelasannya di dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

1. Kencing

Ketika ada seorang A'rabi (Arab gunung) kencing di salah satu sudut masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Para shahabat yang ada di tempat tersebut berteriak mencerca orang tersebut, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang mereka berbuat demikian dan setelahnya beliau bersabda:
"Tuangkan di atas kencingnya itu satu timba penuh berisi air*..." (HR. Bukhari no. 220, 6128 dan Muslim no. 285)

Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menunjukkan bahwa tanag yang terkena najis dapat disucikan dengan menuangkan air di atasnya dan tidak disyaratkan tanah itu harus digali. Ini merupakan pendapat kami dan jumhur ulama." (Syarah Muslim, 3/190-191)

Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan, tanah dapat disucikan dari najis dengan menuangkan air yang banyak tanpa harus memindahkan tanah yang terkena najis ke tempat lain. (Ihkamul Ahkam, 1/83)

Tanah ini bisa disucikan dengan cara tersebut, sama saja apakah tanah itu lembek atau padat, demikian dikatakan Imam Shan'ani. (Subulus Salam, 1/42)

Adapun kalau kencing tersebut mengenai pakaian maka dicuci bagian yang terkena najis sebagaimana mencuci sesuatu yang kotor/najis. Tidak seperti perbuatan orang-orang Yahudi yang menggunting pakaian mereka bila terkena kencing, sebagaimana disebutkan haditsnya dalam Shahih Bukhari (no. 226) dan Shahih Muslim (no. 273).

2. Kotoran (Tahi)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat." (HR. Imam Ahmad, 3/20. Hadits ini shahih kata Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al Jami'ush Shahih 1/526)

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan cara membersihkan alas kaki (sandal ataupun sepatu) yang menginjak kotoran yaitu dibersihkan dengan menggosokkannya ke tanah. Ini menunjukkan tanah itu bisa sebagai pensuci dari najis selain air.

Berkata Imam Syaukani rahimahullah: "Dzahir hadits ini menunjukkan tidak ada perbedaan antara berbagai jenis najis, bahkan setiap yang menempel pada sandal yang dianggap sebagai kotoran maka pensuciannya dengan mengusapkannya ke tanah." (Nailul Authar, 1/76)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga mengajarkan cara bersuci dari buang air kecil (kencing) dan buang air besar (berak) selain dengan air, yaitu dengan menggunakan batu yang diistilahkan dengan istijmar, sebagaimana datang haditsnya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dan siapa yang bersuci dengan menggunakan batu, hendaklah ia mengganjilkannya." (HR. Bukhari no. 162 dan Muslim no. 278)

Hal ini biasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana beliau memerintahkan Abdullah ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu untuk mencari batu (HR. Bukhari no. 156) dan juga perintah beliau kepada Abu Hurairah untuk mengambil batu yang hendak beliau gunakan untuk bersuci (HR. Bukhari no. 155). Kedua riwayat ini mengandung perintah sehingga menunjukkan bahwasanya istijmar bisa dilakukan dalam keadaan apapun walaupun ada air, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan meminta diambilkan air apabila beliau memang ingin bersuci dengan air.

Dikatakan pula oleh Al Hafidz ketika menerangkan bab Istinja' bil Hijarah (bersuci dari buang air besar dan kecil dengan menggunakan batu) bahwa bab ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang berpandangan bahwa istinja' hanya khusus menggunakan air. (Fathul Bari 1/321)

Hitungan ganjil yang dimaksud dalam hadits ini minimal dengan tiga batu sebagaimana dalam hadits Salman radhiyallahu 'anhu, di antaranya ia berkata:
"Sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang kami untuk istinja' (cebok) dengan menggunakan kurang dari tiga batu." (HR. Muslim no. 262)
Demikian pula pendapat Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan ashabul hadits, bahkan mereka mensyaratkan tidak boleh kurang dari tiga batu agar najis itu bersih. Apabila belum tercapai pembersihan itu hanya dengan tiga batu, maka dia boleh menambahnya sampai bersih, dan dalam hal ini disenangi untuk mengganjilkan jumlah batu tersebut. (Fathul Bari 1/323)

Dibolehkan pula untuk mengganti ketika tidak ada batu dengan selainnya, kecuali tulang dan kotoran (tahi) kering karena telah datang larangan pemakaian keduanya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Ini pendapat jumhur ahlul ilmi. (Syarah Muslim 3/157)

Catatan kaki:
*) Dalam bahasa Arab "sajlan" berarti timba yang lebar, timba besar yang penuh dengan air. (Fathul Bari, 1/404, Ihkamul Ahkam, 1/83)
(baca kelanjutannya)


Sumber: Majalah Syari'ah, No. 03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, hal. 27-28.